Katanya Cuma Sementara

15 1 0
                                    

Krieet

Lavendra dan Magenta sama-sama menengok asal suara.

"Anjir, Di. Kirain siapa," ujar Magenta begitu tahu siapa yang membuka pintu.

"Lah, pada kenal?" tanya Jordi, anggota tim aerobik yang juga kakak tingkat Lavendra. Tangan laki-laki itu masih belum melepas kenop pintu.

"Adek kelas gue pas SMA," jawab Magenta tenang. Ah, Lavendra baru ingat kalau Jordi satu jurusan dengan orang di sebelahnya ini.

"Dih, berduaan lo pada." Jordi menyipitkan mata, mencari sesuatu. Kemudian, langkahnya menuju sudut tembok tempat Magenta duduk. "Majuan dikit. Gue mau ambil tongkat bendera. Ini tongkat pake ketinggalan lagi."

"Sirik lo?" Magenta maju sambil memutar kepala dan menatap teman sekelasnya.

Jordi menatap balik Magenta dan Lavendra bergantian. Dia menutup mulutnya yang menganga begitu sadar sesuatu. "Udah jadian? Kalian couple-an baju?"

"Kagak anying, jadian apaan." Magenta melirik Lavendra sekilas. "Nih bocah bacot bener, budeg kuping gue lama-lama."

Lavendra balas melirik Magenta sinis seakan mengatakan 'tuh kan ada yang salah paham' lalu menimpali, "baju suporter pas DBL ini, Bang. Ini satu-satunya baju warna navy yang gue punya."

"Ya ilah gue kirain. Btw, Kalo berduaan, orang ketiganya setan ceunah," celetuk Jordi sambil mengangkat tongkat terakhir.

"Ya lo setannya," sahut Lavendra langsung mengajak Magenta tos. Mereka saling menepuk telapak tangan mereka.

"Sialan," Jordi berdecak, kemudian berjalan menuju pintu dengan kedua tangan penuh tongkat bendera. "Dah geura pulang sana. Udah gak deres hujannya. Gue duluan, ya."

"Hati-hati!" seru Lavendra dan Magenta bersamaan, kemudian mereka saling menoleh ke satu sama lain.

Dan mereka tersenyum.

***

Hujan berhenti tak lama setelah pertemuan mereka dengan Jordi. Motor yang ditumpangi Lavendra berhenti di depan indekos. Perempuan itu segera turun dari motor.

"Nggak mau turun dulu?" tawar Lavendra.

"Ntar gue disangka cowok lo lagi," ujar Magenta seraya membuka kaca helm.

Kalau bener juga gapapa, batin Lavendra. Tapi bohong. Esensi obrolan mereka di GOR tadi jadi tak berarti sebab mereka sepakat kalau tidak ada yang lebih dari hubungan mereka.

"Ya udah lo balik sana." Lavendra mengibas-kibaskan kedua tangannya, berniat mengusir Magenta.

"Dih, ngambek."

Dahi Lavendra berkerut, merasa aneh pada dirinya sendiri. Lavendra yakin kalau dia tidak sedang ngambek seperti yang dibilang Magenta. Tapi, otaknya menyuruhnya setuju kalau dia memang sedang ngambek.

Gue PMS kali, ya? batin Lavendra. Namun, sesaat kemudian pikiran itu segera dibantah karena sekarang belum waktunya.

"Dor!" Magenta menepuk kedua telapak tangan di depan wajah Lavendra.

Lavendra tersentak hingga punggungnya menyentuh pagar indekos. "HIH, NGAGETIN!" protesnya, lalu mengelus punggung yang sakit.

"Udah mau maghrib, gue takut lo kesurupan." Magenta menaikkan standar dan menyalakan motor. "Ah, gue juga takut genderuwo. Gue balik duluan. Sehat-sehat, ya, ntar lo nggak bisa lomba sefakultas berabe lagi."

Motor Magenta melaju berbalik arah, meninggalkan kawasan indekos Lavendra. Mata perempuan itu masih mengikuti pergerakan motor Magenta sampai motor itu menghilang dari pandangan setelah belok kiri.

"Kita temen," gumam Lavendra seraya memasukkan lengan ke sela-sela pagar untuk membuka selot. Kakinya berjalan menuju kamar dengan gontai sementara pikiran Lavendra semakin semrawut.

Sejak SMA Lavendra belum pernah membayangkan dirinya punya hubungan spesial dengan Magenta. Selain karena laki-laki itu kerap membuatnya kesal, Lavendra pikir mereka hanya cocok sebagai rekan kerja. Buktinya di pentas seni SMA dulu Lavendra dan Magenta bisa bekerja sama meski harus menurunkan ego masing-masing demi kelancaran acara. Di FPIK Mengajar juga begitu. Latar belakang mereka yang sama-sama masih di bidang olahraga bisa membuat anak-anak SD senang selama pelajaran—walaupun lengan Lavendra jadi pegal tak karuan.

Lavendra membuka kunci pintu kamar dan menyalakan lampu. Hal pertama yang dia lakukan adalah merebahkan diri.

Kapan terakhir kali Lavendra terlibat cinta-cintaan? Sepertinya pertanyaan itu bisa mudah terjawab; tidak pernah. Palingan hanya naksir sekilas—paling lama satu bulan lalu perasaan itu hilang tak berbekas. Apalagi masa SMA yang katanya masa remaja paling romantis, tidak terbukti. Lavendra menghabiskan waktu di luar akademik bersama OSIS—yang artinya dia selalu berkutat dengan program kerja sekbidnya. Ditambah sekbid Lavendra harus sering berkoordinasi dengan Magenta sebab laki-laki itu ketua OSIS. Jadi lingkup pergaulan Lavendra selama SMA tak jauh-jauh dari OSIS.

Lavendra menutup wajah dengan kedua tangan. Kenapa keberadaan Magenta masih menghantui pikiran Lavendra sekarang?

Tenang, ini cuma sementara doang, batinnya. []

Fieldtrip, KatanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang