Katanya Let it Flow

33 1 0
                                    

"Lo keren. Sumpah," ujar Magenta saat mereka duduk di bangku panjang setelah pulang dari lomba. "Kok lo bisa sih sefleksibel itu? Tumbling, roll belakang, split. Semua lo tunjukin di aerobik! FPIK menang ini mah!"

Mendengar itu, Lavendra mengibaskan rambutnya. "Oh, iya dong. Gue gitu loh."

"Ye besar kepala lo." Magenta menjitak kepala Lavendra pelan. "Eh mana dah temen lo yang cakep? Katanya mau nebengin."

"Sabaaarr!" Lavendra mencubit pinggang temannya itu. Sudah untung Nadine sukarela menjemput mereka di bengkel motor. Memang Magenta tidak tahu diri.

"Lagian Nadine udah punya cowok. Kalo tau cowoknya ... Duh lo kalah pokoknya," lanjut Lavendra.

"Cowoknya kayak gi-"

"Lavendra!" panggil seseorang perempuan. Kepalanya menyembul dari kaca mobil bangku penumpang yang terbuka sambil melambaikan tangan.

Lavendra berdiri sambil membalas lambaian tangan. "Eh itu tuh!" ajaknya pada Magenta agar turut berdiri dan berjalan menuju mobil.

"Lah, Kak Dimas?" tanya Magenta bernada kaget ketika membuka pintu. Dia berdiri mematung satu dua detik sampai suara klakson di belakang mobil berkali-kali dibunyikan.

"Cepetan! Itu ada angkot di belakang!" kata Lavendra buru-buru sembari menepuk punggung Magenta.

"Iya, gue tau!"

***

"Oh, Kak Dimas pernah jadi asdos di departemen sebelah juga?"

"Diajakin Pak Dadang. Kebetulan pas itu lagi lowong. Karena itu juga bisa kenal Genta."

"Oh, makanya bisa kenal." Lavendra mengangguk paham.

"Kalian udah berapa lama jadian?" Kini ganti Magenta yang bertanya

"Mau setahunan."

"Lah berarti dari semester 7? Bukannya hima jurusan kalian ada apa tuh namanya ... Golden Rules?"

"Ya diem-diem aja. Baru go public pas gue nggak jadi steering committe himpunan."

"Nekat, ya," komen Magenta. "Itu nggak pada curiga apa begitu tahu kalau kalian jadian?"

"Curiga sih ... Iya. Tapi berhubung kita berdua udah lepas dari himpunan, mereka nggak ngerecokin segala macem," jawab Nadine.

"Oohh, terus kelas Nadine pada kaget nggak sih pas tau kalian berdua jadian?"

"Genta!" desis Lavendra. Dia merasa pertanyaan Magenta telah melewati batas. "Lo tuh lagi magang jadi reporter acara gosip apa gimana sih?"

Dimas tersenyum tipis, berusaha menenangkan situasi. "It's okay. Semua orang kepo karena kaget. Dan menurut kita wajar."

"Pas backstreet, kita berusaha seprofesional mungkin dengan nggak saling berinteraksi. Gue cuma pernah sekali ngajar di kelas Nadine gara-gara dosennya sakit. Sebelumnya, dia gak tau kalau gue jadi asdos. Pas itu lagi kuis. Gue nggak pernah ngasih contekan kuis. Paling mentok cuma ngajarin materi. Itu pun kalau gue nggak sibuk. Jadi, kalau nilai Nadine bagus itu ya karena usaha dia sendiri."

Kepala Magenta hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Dimas. Sepertinya, itu cukup bagi laki-laki itu untuk berhenti bertanya. Di sebelah, Lavendra mengunyah potongan ayam geprek sambil mengawasi. Kakinya siap-siap menginjak kaki Magenta kalau mulut temannya itu mengeluarkan komentar yang aneh.

***

Mobil yang Lavendra dan Magenta tumpangi berhenti di depan gang kecil yang hanya bisa dilewati sepeda motor. Dua anak itu turun seraya mengucapkan terima kasih pada Nadine dan Dimas yang rela agenda mereka diinterupsi sebentar.

Gang sedang sepi. Jadilah, mereka berjalan bersebelahan. Aslinya, daerah kos mereka berbeda. Kos Magenta agak jauh, tapi untungnya laki-laki itu tahu jalan pintas yang melewati kos Lavendra.

Berdua bersama Magenta ternyata membuat jantung Lavendra berdebar lebih keras. Kalau di bengkel dan di warung ayam geprek tadi dia bisa mengalihkan pikiran, lalu sekarang harus apa?

Percuma saja sekarang Lavendra berpikir kalau mereka hanya bisa berteman, tapi di masa depan takdir menyatukan mereka. Mereka hanya manusia biasa yang tidak tahu apa-apa di masa depan.

Dan tentu tidak ada yang tahu perasaan mereka akan seperti apa nantinya.

Tiba-tiba Magenta bertanya, "Lo mikir, ya?"

"Hah enggak."

"Ah, bohong lo nggak profesional," kilah Magenta. "Kalau lo nggak mikir, lo pasti udah ngebacotin macem-macem."

Lavendra enggan membalas.

"Gue pernah dibilangin kalau orang yang mendem pikiran tuh cepet stress tau. Lo mau stress di usia muda nggak?" ujar Magenta sedikit mengancam.

Lavendra menghela napas. "Oke. Tapi lo jangan ketawa, ya, pas gue cerita."

"Iya."

"Jangan komen macem-macem."

"Iyaaa, Laveen."

Langkah Lavendra berhenti. Begitu pula Magenta. Perempuan itu menatap lurus-lurus lawan bicaranya. "Masa depan siapa yang tahu sih, Gen?"

"Ya nggak ada. Lo kira gue paranormal apa?"

"Gue nggak ngerti sama diri gue sendiri yang waktu itu bilang kalau kita cuma bisa temenan padahal masa depan aja nggak ada yang tau."

"Padahal masa depan kemungkinannya nggak terbatas. Gitu kan maksud lo?"

Lavendra mengangguk, kemudian meneruskan jalan."Kita emang cocok jadi temen buat sekarang, tapi kalau emang kita takdirnya lebih dari itu gimana? Jadi, ya let it flow aja."

Ada perasaan lega ketika Lavendra mengatakan kalimat tadi. Let it flow terdengar keputusan terbaik. Dia tidak perlu terus-terusan menyugesti pikirannya kalau hubungan mereka hanya mentok di pertemanan.

"Jadi gimana perasaan lo sekarang?"

"Lo pernah bilang kalau rasa suka lo ke gue kayak petasan. Mungkin waktu kita baikan itu jadi pemicunya? Tapi, gue masih ngerasa aneh kalau kita lebih dari temen. Kita awalnya lama nggak ketemu, terus ketemu di fieldtrip. Habis itu nggak ngobrol lagi, terus ngobrol lagi. Kayak interaksi kita tuh aneh banget."

Kepala Lavendra semakin menunduk setelah mengatakan itu. Rasanya memalukan. Seumur-umur, ini adalah pertama kalinya Lavendra tidak berani menatap Magenta.

"Ven,"panggil Magenta. "Aduh aneh banget ngomongin beginian di gang, tapi...."

".... omongan gue pas di gor kemarin nggak sepenuhnya bener. I'm still not get over with you."

"Hah gimana?" Lavendra mendongak. Dia ingin memastikan kalau tak salah dengar.

"Apapun yang lo rasain sekarang ... Kasih tau gue kalau lo udah siap, ya?" Kemudian, tiba-tiba Magenta berjalan begitu saja mendahului Lavendra. Sama seperti ketika mereka pulang dari FPIK Mengajar.

Dulu, Lavendra syok dan hanya bisa diam mematung menatap punggung Magenta yang berjalan lebih dulu. Namun sekarang, hati Lavendra terasa makin ringan. Dia mengulum senyum sambil menyusul cowok itu.

Sepertinya, hubungan mereka akan memasuki babak baru.

[END]

Fieldtrip, KatanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang