Selamat membaca🤗
Hadinata berdiri di sisi sebuah makam yang tampak masih baru, bahkan tanahnya pun masih merah. Menatap sedih ke arah batu nisan bertuliskan sebuah nama yang masih tersimpan rapi jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Entah kapan terakhir dia berbicara atau sekedar menyapa seseorang yang namanya kini terlulis di nisan itu. Wening, sebuah nama yang kini hanya bisa di kenang tanpa bisa lagi dia lihat.
Setelah selesai membacakan doa dan menabur bunga perlahan Hadi melangkah meninggalkan area pemakaman. Masih ada tempat yang harus ia datangi dan hal itulah yang menjadi alasannya datang ke kota ini.
Tak butuh waktu lama Hadi sampai di sebuah rumah yang tampak begitu sederhana. Suasana sepi, namun dari pintu rumah yang sedikit terbuka Hadi yakin sang pemilik rumah ada di dalam. Berjalan ke arah pintu rumah, tiba-tiba saja rasa was-was melanda hatinya. Beragam keraguan muncul. Bagaimana kalau dia tak diijinkan masuk, bagaimana kalau kedatangannya tak diterima dan berbagai ketakutan-ketakutan lain bermunculan dan berlomba menguasai hatinya.
Niat Hadi mengetuk pintu urung saat sebuah suara mengiterupsi langkahya.
"Cari siapa ya, Pak?" Sebuah suara terdengar dari arah sampingnya, membuatnya menoleh.
Seorang wanita paruh baya dengan belanjaan di tangan sedang memandangnya dengan wajah penuh rasa penasaran.
"Saya mau bertemu Cahaya, Bu?" walau dari usia jelas terlihat dia lebih tua dibandingkan wanita tadi, tapi demi kesopanan Hadi sengaja menyapa wanita itu dengan panggilan Bu.
"Wah kebetulan Mba Aya baru saja keluar sama Mas Awan, sepertinya wajah bapak gak asing, tapi siapa ya?" Wanita itu menjawab tapi matanya tak lepas menatap wajah Hadi, seakan-akan sedang berusaha mengingat seseorang.
"Saya Hadi, ayahnya Cahaya, Bu."
"Aduh, maaf Pak, saya pangling, soalnya sudah lama sekali Bapak tidak pernah berkunjung kesini ya."lanjut wanita itu.
"Saya Sri Pak, rumah saya di belakang rumah Aya." Wanita tadi memperkenalkan diri.
Hadi tersenyum sendu, benar sekali, sudah berapa lama dia tidak berkunjung kesini. Terakhir dalam ingatannya adalah saat Cahaya lulus SMP, namun sayang dia tidak bertemu putrinya saat itu. Anak itu sedang berlibur ke tempat Awan kakak sulungnya yang tinggal di kota lain.
"Kalau boleh tahu, Aya dan Awan kemana ya Bu?" Tersadar dari lamunan, Hadi coba mencari informasi lebih jauh.
"Lah, Bapak gak tahu? Mba Aya sakit, tadi kelihatannya tambah parah sakitnya, takut terjadi apa-apa makanya dibawa Mas Awan ke klinik."
"Sa-sakit?" Hadi terkejut dengan informasi yang baru saja dia dengar."Dibawa ke klinik mana Bu?" tanyanya kemudian.
"Waduh, kalau itu saya kurang tahu Pak, coba saja tanya ke Mas Langit, ada di rumah kok orangnya." Bu Sri tadi menjawab sambil berjalan ke arah pintu. "Ayo Pak!" ajaknya kemudian.
Mau tidak mau Hadi mengikuti langkah wanita itu, hatinya makin tak karuan. Pasalnya daripada harus bertemu Langit, dia lebih baik bertemu Awan. Walau mereka kakak beradik tapi perangai mereka sungguh bertolak belakang.
Sesampainya di dalam selayaknya tuan rumah wanita tadi mempersilakan Hadi duduk di karpet yang digelar di lantai. Meja dan kursi segaja dikeluarkan dari ruang tamu rumah itu karena acara tahlil sampai hari ke-7 belumlah selesai. Dan hari ini tepat hari terakhir acara tahlil tersebut.
Tak lama kemudian keluarlah seseorang dengan raut wajah masam dan tidak bersahabat, namun nampak sekali sedang bersedih dia lah Langit.
Bangun dari duduk Hadi berdiri dan bermaksud menyalami Langit terlebih dahulu. Walau tak ada hubungan darah di antara mereka, tetapi dia tetap menganggap Langit adalah putranya. Belum sempat dia mengangkat tangan untuk menyalami suara Langit sudah lebih dahulu terdengar.
"Mau apa kesini?" Sedikit tertegun dengan pertanyaan itu Hadi berusaha tetap tenang dan tidak terpancing emosi.
"Kalau hanya ingin tahu kabar Aya, tenang saja, dia baik-baik saja, gak usah repot-repot mikirin dia!"masih dengan nada ketus dan terkesan tidak sopan kepada yang lebih tua Langit melanjutkan kata-katanya.
Mencoba menahan emosi yang membuat dadanya terasa sesak Hadi menatap ke arah Langit."Bukankah Aya sakit?" tak peduli reaksi sang lawan bicara setelahnya Hadi tetap menanyakan apa yang ingin dia ketahui dengan segera.
Berdecak pelan sambil menatap langit-langit rumah yang sedikit usang Langit kembali bersuara. "Kalaupun Aya sakit, dia gak butuh Anda, dan bukan tidak mungkin, saat melihat Anda, sakitnya malah akan tambah parah." sinis Langit.
"Langit, tidak bisakah..."belum selesai Hadi mengeluarkan kata-kata, handpone Langit berdering pertanda ada panggilan masuk dan dengan segera ia jawab panggilan tersebut.
"Wa'alaikumussalam, ya Wan?"
Dengan wajah tegang Langit mendengarkan apa yang disampaikan oleh seseorang di seberang sana. Terlihat sekali wajahnya berubah menjadi panik dan cemas.
"Terus gimana Mas?, apa aku sama Siska nyusul kesana apa gimana?" tanyanya gusar.
Kembali seseorang di seberang telepon menjelaskan kepadanya dan sepertinya penjelasannya berhasil, karena raut wajah Langit yang tadi terlihat panik dan cemas perlahan mulai tenang kembali.
"Tapi Aya gak apa-apa kan, dia masih sadar kan Mas?" Langit kembali memastikan keadaan adik perempuan satu-satunya itu.
Setelah mendapat jawaban yang terdengar sedikit melegakan hati dan pikirannya Langit pun menutup panggilan tersebut.
Mendesah sekali, Langit mengalihkan pandangan matanya ke arah lelaki yang berdiri tepat di depannya.
"Aya sakit dan harus dirawat, tapi saya harap jangan temui dia dulu," kata Langit terdengar setengah memohon. "Biar aku sama Awan memberitahu dia terlebih dahulu kalau Anda di sini." lanjutnya.
"Tapi Lang..." belum selesai Hadi berkata, Langit terlihat mengangkat tangan tanda dia tak ingin Hadi meneruskan kata-katanya.
"Bukankah Anda paham bagaimana reaksi Aya saat kalian bertemu," ujar Langit kemudian.
"Do'akan saja dia cepat sembuh, dan setelah itu kalian bisa bertemu, tapi itu terserah dia, mau bertemu dengan anda atau tidak."
Hadi tak bisa lagi membantah, bagaimapun yang dikatakan Langit benar adanya. Dalam keadaan biasa saja Cahaya tidak pernah suka dengan kehadirannya, apalagi saat ini.
Sungguh jika diperbolehkan ingin rasanya dia memeluk putrinya itu dengan penuh rasa kerinduan dan kasih sayang. Menjadikan pundaknya sebagai sandaran kala sang putri bersedih dan menangis. Hadi yakin putrinya tersebut saat ini sangat terpukul atas kepergian sang ibu menghadap Sang Khalik secara tiba-tiba. Ya memang hidup, mati, rezeki, dan jodoh semua rahasia Sang Pencipta, namun saat seseorang yang menjadi sandaran hidup meninggalkan kita secara tiba-tiba tetap saja meninggalkan kesedihan yang mendalam. Tapi kenyataannya jangankan untuk memeluk, saat melihatnya pun Cahaya lebih suka menghindar atau berpura-pura tidak saling mengenal. Entah sudah seberapa dalam kebencian putrinya itu.
"Lang, Aya dirawat di mana?, kalau butuh sesuatu jangan sungkan bilang ke saya." Hadi masih berusaha merayu Langit.
"Klinik Medika Husada, tapi tetap saya minta jangan temui dia dulu!" tegas Langit. "Kalau sudah tidak ada urusan silakan tinggalkan rumah ini," lanjutnya.
"Lang, bisakah mengabari saya kalau ada sesuatu."
Mengangguk pelan tanda setuju Langit berjalan ke arah dapur dan meninggalkan Hadi di ruang tamu sendiri.
Merasa tidak ada pilihan lain, Hadi segera melangkah ke arah pintu dan keluar dari rumah itu menuju tempat dia memarkirkan kendaraannya.
Dalam hati dia menimbang, haruskah dia langsung pulang atau ke tempat Cahaya dirawat dan melihat keadaan putrinya itu dari jauh. Benar dia sangat ingin melihat keadaan putrinya, tapi dia juga takut kalau anaknya itu malah emosi saat melihatnya. Serumit inikah kisahnya dengan sang putri. Tersenyum getir, perlahan Hadi melajukan kendaraannya meninggalkan rumah itu.
Mencoba menghibur diri sendiri Hadi kembali meyakinkan hatinya kalau suatu saat nanti sang putri bisa menerimanya kembali. Untuk saat ini biarlah semua berjalan seperti air mengalir. Dia percaya tidak usaha yang sia-sia dan semua akan indah pada waktunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)
RomanceCover by Henzsadewa Sebuah kesalahan saat mengambil keputusan di masa lalu nyaris membuat seorang ayah kehilangan putrinya. Hadinata, diusia senjanya kembali berusaha mengambil hati Cahaya, putri yang telah lama ia tinggalkan bertahun-tahun lamanya...