2. Belum Saatnya Bertemu

112 22 51
                                    


Hadi memutuskan untuk menepi di sebuah masjid  yang terlihat ramai karena memang baru saja selesai melaksanakan salat asar berjamaah.

Turun dari kendaraannya dia bergegas masuk untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Setelah selesai dia memutuskan untuk duduk sebentar di serambi masjid.

Tidak lama kemudian tanpa sengaja, dia melihat sosok yang sangat ia kenal. Tidak menunggu lama Hadi segera berusaha menghampiri orang tersebut.

"Wira...Wira..!" Hadi setengah berteriak.

Karena ia melihat temannya  sudah bersiap-siap untuk naik ke atas mobilnya.

Wira menoleh ke sumber suara, dan kaget saat melihat Hadi setengah berlari menuju ke arahnya.  

Hadi sampai di samping kendaraan Wira dengan napas tersengal. 

"Lho Di, kamu udah sampai sini kok gak kasih kabar dulu, malah ketemu disini?" Wira bertanya setelah melihat temannya itu bisa kembali mengatur napasnya dengan tenang.

"Iya Wir, entah mengapa aku kepikiran anakku terus. Jadi aku pingin cepet-cepet ketemu dia,"  jelas Hadi.

"La terus udah jadi ketemu sama dia?" Wira balik bertanya.

"Justru itu Wir, sepertinya aku mau minta bantuanmu lagi." Suara Hadi terdengar sedikit memohon. "Kita ngobrol dulu bisa gak?" imbuhnya.

"Tapi sekarang kayaknya aku gak bisa Di, kalau nanti malam aja gimana?" Wira memberikan usul.

Bukan bermaksud menolak, tetapi saat ini ia memang sedang ada janji dengan seseorang berkaitan dengan pekerjaannya.

"Ya udah kalau gitu,  berarti nanti malam aja aku ke rumahmu, ya?" Hadi menyetujui usulan sahabatnya.

Wira mengangguk tanda setuju dan setelah itu dia pergi terlebih dahulu dari sana.

Bermaksud meneruskan perjalanan ke tempat tinggalnya selama di kota ini, tiba-tiba Hadi teringat bahwa dia belum memberikan kabar kepada sang istri bahwa dia sudah sampai di sini.

Terlalu antusias untuk menemui sang putri, tadi pagi begitu sampai dia langsung ke makam Wening untuk berziarah kemudian ke rumah Cahaya. Namun mendapati kenyataan bahwa anaknya sedang sakit membuat dia lupa memberi kabar kepada sang istri yang mungkin sedang menunggu kabar darinya.

Mengambil ponsel dari saku celana yang dia pakai saat ini segera ia mendial nomor sang istri. Tak butuh waktu lama panggilannya segera diangkat.

"Assalamu'alaikum Mah," sapa Hadi." Maaf baru sempet kasih kabar, bapak Alhamdulillah udah sampai dengan selamat,"  lanjutnya.

"Wa'alaikumussalam,  syukurlah kalau udah sampai, kirain emang sengaja lupain kita yang di sini."

 Dari suaranya Hadi bisa menebak kalau sang istri sedang dalam mood yang kurang baik. Selalu begitu kalau sudah berhubungan dengan Cahaya.

"Gak gitu Mah, Bapak beneran lupa soalnya panik karena denger Aya sakit." Hadi mencoba menjelaskan dengan nada yang halus agar emosi sang istri tidak naik.

"Oouh gitu, yaudah gak pa-pa,"  jawab sang istri. Masih dengan nada yang kurang mengenakkan telinga.

"Udah ya Pak, ada yang beli nih mau layanin dulu, nanti disambung lagi." 

Tanpa mengucap salam penutup sambungan telepon dimatikan begitu saja oleh istrinya itu.

Memijat pelipis yang tiba-tiba terasa pusing  dan sambil mendesah pelan Hadi memasukkan lagi ponselnya ke dalam saku celana, kemudian ia melangkah ke tempat kendaraannya terparkir. Sungguh saat ini pikirannya sedang dipenuhi tentang  Cahaya yang sedang sakit, tetapi mendengar sang istri tadi menjawab panggilan teleponnya dengan nada yang tidak enak didengar menambah beban pikirannya semakin berat. Bahkan dia belum bertemu dengan anaknya di sini, tetapi istrinya yang ada di sana sudah merasa terabaikan. Lalu bagaimana kalau mereka semua berkumpul? Bisakah Astri menerima Cahaya dengan sepenuh hati. 

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang