Cahaya berbaring di kamarnya yang sederhana, tidak banyak barang yang ada di sana. Hanya tempat tidur berukuran sedang, satu lemari pakaian dengan 2 pintu dan sebuah meja yang ia jadikan tempat untuk menaruh beberapa barang.
Sebenarnya dia belum mengantuk, tapi pembahasan tentang ayahnya tadi sungguh membuat dia tidak nyaman. Bukan, dia bukan membencinya tapi terlalu sulit baginya untuk mendeskripsikan perasaannya kepada sang ayah.
Merasa tidak ada yang bisa dia lakukan di dalam kamar ini, akhirnya dia memutuskan untuk benar-benar tidur. Biarkan saja semua seperti air yang mengalir.
***
Pagi ini Cahaya bangun seperti biasa, mengawalinya dengan melaksanakan ibadah kemudian dilanjutkan dengan menyiapkan sarapan dan membereskan rumah. Sudah ada bahan-bahan masakan di dalam kulkas sehingga dia langsung bisa memasak untuk sarapan mereka bertiga. Sepertinya kedua kakak iparnya yang berbelanja saat mereka di sini kemarin.
Awan dan Langit sedang ke luar, sudah menjadi kebiasaan mereka saat pulang ke sini pasti setiap pagi mereka akan menyempatkan diri untuk berjalan-jalan di sekitar rumah.
Tidak lama terdengar suara salam dari luar, rupanya Awan dan Langit sudah kembali dari kegiatan jalan-jalan mereka.
Melihat kedua kakaknya sudah kembali membuat Cahaya heran, pasalnya belum begitu lama mereka pergi. Biasanya bisa sampai dua atau tiga jam mereka habiskan untuk sekedar jalan-jalan.
"Lho kok udah pulang aja Mas, cepet amat?" tanyanya penasaran.
Terlihat Langit berjalan terburu-buru ke arah kamar mandi sambil memegangi perutnya.
"Tuh Masmu tiba-tiba mules," jawab Awan sambil menunjuk ke arah Langit dengan dagunya.
"Oalah mules to." Cahaya menanggapi.
Awan melangkah ke arah adiknya yang terlihat sedang menyiapkan sesuatu yang ternyata sedang menyiapkan sarapan pagi untuk mereka.
"Lhoh, kamu belum sembuh bener kok malah masak siih Ay." Langit mengingatkan.
"Aya udah sembuh kok Mas, cuma masak gini gak bikin capek juga," jawabnya.
Kemudian Awan duduk di sebelah sang adik. Dengan hati-hati dia menanyakan kembali perihal pertanyaannya semalam.
"Gimana Ay, apa Pak Hadi boleh ke sini, atau mau ketemu di luar aja?" Awan memastikan lagi apakah adiknya mau bertemu atau tidak dengan ayahnya.
Cahaya yang sedang menata makanan untuk sarapan menghentikan kegiatannya sejenak. Menatap kakaknya lalu melanjutkan kegiatannya tadi sambil menjawab dengan nada acuh.
" Ya boleh tapi di sini aja, aku lagi males keluar."
"Oke, Mas kasih tahu dia dulu, ya." Awan menanggapi dengan antusias jawaban Cahaya.
Sebenarnya Awan hanya ingin adiknya berdamai dengan masa lalu. Yang berlalu biarlah berlalu bukan saatnya lagi untuk saling menyalahkan. Akan tetapi sejujurnya dia pun tidak tahu bagaimana yang dirasakan oleh sang adik. Cahaya terlalu pandai menutupi apa yang dia rasakan jika itu perihal sang ayah. Dalam hal lain adiknya akan menjelaskan tanpa diminta, tetapi tidak untuk hal yang satu itu.
Saat sang ibu masih ada, pernah Awan bertanya kepada sang ibu apakah adiknya pernah bertanya tentang ayahnya, dan jawaban sang ibu membuatnya tercengang. Karena ternyata sang adik tidak pernah sekalipun menanyakan hal itu. Oleh sebab itulah dia dan Langit pun tak berani menyinggung apapun tentang Hadinata.
Pesan untuk Hadinata telah terkirim, dan langsung dibaca oleh sang penerima. Tidak lama kemudian datang balasan dari orang itu.
Pak Hadi :
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)
RomanceCover by Henzsadewa Sebuah kesalahan saat mengambil keputusan di masa lalu nyaris membuat seorang ayah kehilangan putrinya. Hadinata, diusia senjanya kembali berusaha mengambil hati Cahaya, putri yang telah lama ia tinggalkan bertahun-tahun lamanya...