8. Hal Yang Tak Terduga

61 15 46
                                    



Awan masih duduk termenung di ruang tamu memikirkan kata-kata adiknya tadi. Mengapa sang adik bisa sampai berfikir seperti itu, bukankah adiknya tidak pernah menanyakan apapun tentang ayahnya. Dari mana adiknya mendapat informasi itu dan kemudian menarik kesimpulan seperti itu. Mungkin dia harus berbicara dari hati ke hati dengan adiknya dan menanyakan tentang itu semua.

Sementara Langit yang bermaksud mengejar adiknya kini hanya berdiri di depan pintu kamar tanpa berani mengetuk apalagi masuk. Ada perasaan sungkan dan takut jika dia masuk dan bertanya akan membuat adiknya merasa  kalau dia terlalu ikut campur. Walaupun Cahaya adik kandungnya tapi ayah mereka berbeda, hal ini lah yang membuat dia dan Awan  sejak dulu tidak berani menggali lebih jauh tentang bagaimana perasaan Cahaya kepada ayahnya.

Saat Langit sibuk dengan pikirannya, tiba-tiba pintu kamar terbuka dan terlihat adiknya akan keluar kamar. Tentu saja hal itu membuat Langit dan Cahaya sama-sama kaget.

"Eehh, Mas lagi ngapain kok berdiri disini?" tanya Cahaya.

"Itu Mas  tadi kok tiba-tiba laper ya, pingin ngajakin kamu makan." Langit menjawab dengan asal-asalan. 

"Laah...makan aja kok ngajak-ngajak, biasanya juga nggak!" Cahaya menanggapi ucapan Langit sambil berlalu menuju ruang makan yang menjadi satu dengan dapur.

Langit mengikuti langkah adiknya sampai ke dapur dan membuat adiknya itu sedikit heran.

"Mas kenapa to? Kok ngikutin aku terus?" 

"Lha Mas kan bilang laper makanya ngikutin kamu kesini," jawab Langit.

"Yakin cuma laper?" Cahaya mulai curiga dengan tingkah sang Kakak.

Langit menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil meringis. Pasalnya dia merasa kalau adiknya curiga dengan tingkahnya sekarang ini. Mungkin dia harus bertanya secara langsung sekarang.

"Ay Mas mau tanya, tapi janji kamu gak boleh marah?" Kini raut wajah Langit berubah  menjadi lebih serius.

"Tanya apa Mas,  lagian kenapa Aya harus marah?" Cahaya balik bertanya.

"Ya janji dulu gak akan marah," pinta Langit seperti anak kecil.

"Iya iya gak marah, mau nanya apa sih?" Cahaya mengiyakan tapi dengan nada agak kesal.

"Yang tadi kamu sama Pak Hadi obrolin, tadi Mas gak sengaja denger." Langit merutuki kata-katanya sendiri karena pada kenyataannya dia dan Awan memang sengaja mendengarkan bukan kebetulan seperti yang ia katakan barusan.

Cahaya sudah menduga pasti kedua kakaknya itu akan bertanya. 

"Obrolan yang mana Mas, yang Aya obrolin tadi biasa aja kan ?" kilahnya.

"Yang itu, yang kamu bilang Pak Hadi lebih dulu menolak kehadiran kamu, maksudnya gimana, Ay?" Walau sempat bingung memilih kata-kata yang tepat, akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari bibir Langit.

Cahaya menghentikan gerakannya menuang air putih ke dalam gelas guna mendengarkan pertanyaan Langit barusan. Berfikir sejenak untuk menyiapkan jawaban, lalu dia mulai menjawab.

"Itu ya karena Aya ngerasa gitu aja, kalau emang dia peduli  kenapa gak dari dulu waktu aku masih kecil, kenapa baru datang akhir-akhir ini aja?" Cahaya coba menjelaskan.

Langit terdiam sejenak untuk memahami apa yang adiknya katakan. Mungkin ada benarnya kalau sang adik berpikir seperti itu, karena memang baru beberapa tahun terakhir ini Hadinata gencar mendekati sang adik. Dan wajar saja kalau adiknya berpikiran demikian.

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang