3. Sepenggal Masa Lalu

74 22 47
                                    


Hari telah beranjak malam saat Hadi kembali dari rumah Wira. Merasa lega karena bisa sedikit meluapkan dan membagi beban yang menumpuk di hati dengan bertukar pikiran bersama sang sahabat. 

Wira adalah teman karibnya sejak dia masih muda dulu, dia pulalah yang selama ini membantu Hadi dengan selalu memberikan informasi tentang putrinya. Sebuah keberuntungan baginya saat beberapa tahun lalu tanpa sengaja bertemu Wira yang ternyata sudah pindah dan menetap di kota ini. Ditambah satu keberuntungan lainnya yaitu Cahaya menjadi salah satu karyawan di tempat Wira bekerja. 

Sejak saat itulah, Hadi bisa mendapatkan banyak informasi tentang putrinya itu    dari sang sahabat. Karena memang jarang sekali pesan atau panggilan yang dia lakukan ditanggapi oleh sang putri. Jangankan dibalas pesan yang dia kirimkan dibaca atau tidak oleh sang putri saja dia tidak tahu.

Sering terlintas tanya dalam benaknya, tidakkah Cahaya merindukannya atau sekedar ingin tahu bagaimana kabarnya. Karena sepanjang dia mengingat tidak pernah sekalipun anaknya itu mengirimkan pesan terlebih dahulu kepadanya. Bahkan saat diberitahu bahwa dia sedang sakit pun, reaksi Cahaya hanya biasa saja. Hanya tulisan "semoga lekas sembuh" saja yang putrinya kirimkan sebagai balasan.

Sebenarnya dia sudah ingin menyerah mendapatkan hati sang putri, tetapi  tentu saja hati kecilnya menolak. Bagaimanapun Cahaya adalah putri satu-satunya yang dia punya.

Tidak banyak yang Hadi ingat tentang Cahaya. Dalam kurun waktu 27 tahun bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka berinteraksi. Jarak yang jauh dan kurangnya komunikasi semakin menambah buruk hubungan mereka 

Andai masa lalu bisa diperbaiki, mungkin semua tidak akan begini. Namun jangankan memperbaiki, mengulanginya saja itu tidak mungkin.

Memikirkan semuanya membuat kepala tuanya terasa berat, dia berniat langsung beristirahat setelah membersihkan diri. Namun, niatnya urung ketika teringat tentang keadaan sang putrinya yang sedang  sakit dan sampai sekarang dia belum tahu bagaimana keadaannya. Mengambil ponsel di atas nakas, Hadi menimbang apakah akan  langsung menelpon atau hanya  mengirimkan pesan saja kepada Langit. Sekilas dia  melihat jam tangan yang kebetulan belum dilepas. Sepertinya sudah terlalu larut jika dia  melakukan panggilan telepon, akhirnya dia memutuskan untuk mengirimkan pesan saja ke  nomor Langit.

Langit :

"Lang, gimana keadaan Aya sekarang, sudah membaik?"

Terlihat pesan  yang dikirim  sudah terbaca  oleh sang penerima, namun hingga tiga puluh  menit berselang tidak ada balasan yang dia dapat.  Kembali mendesah karena lelah  menunggu balasan, Hadi memutuskan untuk membersihkan diri untuk kemudian beristirahat.

Hari ini cukup melelahkan baginya. Semoga besok semua akan lebih baik. 

***

Cahaya bangun dari tidurnya, semalam setelah minum obat dia tertidur  sangat pulas. Pagi ini dia merasa sudah lebih sehat. Tidak seperti kemarin saat bangun tidur kepalanya terasa berputar dengan suhu badan yang tinggi. Menoleh ke samping tempat tidur yang dia lihat kakaknya Langit sedang fokus menekuri layar ponsel. Seingatnya kemarin yang menemaninya adalah Awan dan sang istri, namun sekarang kenapa jadi Langit. 

"Kok Mas Langit yang di sini, Mas Awan sama Mbak Nina kemana?" Penasaran Aya langsung bertanya kepada Langit.

Langit menoleh ke arah cahaya dan  baru menyadari ternyata adiknya sudah bangun karena tadi saat dia datang adiknya itu masih tertidur pulas.

"Lho putri tidur udah bangun?" goda Langit. 

Dia memang suka menggoda adiknya itu dengan sebutan putri tidur karena Cahaya memang lebih suka menghabiskan waktu libur untuk tidur daripada jalan-jalan.

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang