4. Sebuah Pertanyaan

62 15 20
                                    





Langit berjalan sampai ke tempat parkir, namun sosok yang ia kejar ternyata sudah tidak terlihat lagi. Merasa usahanya sia-sia dia memutuskan untuk kembali ke ruang rawat Cahaya. Sesampainya di sana dia melihat sang adik sedang termenung, bahkan kehadirannya pun luput dari perhatian adiknya itu.

Tidak ingin mengganggu, Langit memilih duduk di kursi yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tidur adiknya. Namun, rupanya hal itu membuat sang adik menyadari kehadirannya.

"Mas Langit dari mana?" tanya Cahaya.

"Mas habis dari kantin, tiba-tiba pingin ngopi," dusta Langit. 

Tidak mungkin dia mengatakan hal yang sebenarnya, bahwa dia tadi melihat Hadinata dan mengejar lelaki itu.

"Mas, Aya pingin makan bubur ayam pake ati ampela, boleh gak?" pinta Cahaya memelas.

"Emang boleh makan makanan dari luar? Itu kan udah ada makanan khusus buat pasien, Ay?" tanya Langit sambil menunjuk makanan khusus yang sudah disediakan dari klinik untuk pasien rawat inap.

"Kelihatannya gak enak gitu, lihatnya aja udah males, apalagi harus makan," sungutnya.

Langit tertawa melihat ekspresi adiknya itu, sungguh di usianya yang  sudah dewasa tapi sifat manja dan kekanakannya tetap saja terkadang masih ada.

"Mau cepet sembuh gak nih?" tanyanya kemudian.

"Ya mau lah, kalau bisa hari ini pingin pulang. Gak enak banget nginep di sini,"  jawab adiknya itu.

"Yowes, makanya jangan banyak protes cepetan dimakan biar cepet sehat terus pulang," gemas Langit.

Dengan wajah tertekuk Cahaya mulai membuka plastik wrap yang membungkus wadah makanan khusus pasien itu. Kemudian dengan enggan dia mulai menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Terlihat sekali adik bungsu Awan itu sangat terpaksa menelan makanannya. Seakan-akan makanan itu terbuat dari batu yang susah untuk ditelan.

Langit hanya memperhatikan adiknya makan, sesekali dia tersenyum geli saat melihat adiknya terlihat susah payah menelan makanannya. Karena mungkin memang terasa hambar dan tidak enak. Namun dalam diam sebenarnya dia sedang berpikir bagaimana cara menyampaikan kepada Cahaya bahwa sang ayah sedang berada di kota ini dan ingin bertemu dengan dia.

Setelah menghabiskan setengah porsi makanan tadi Cahaya menyerah, rasanya sungguh tidak enak menurutnya dan bila dipaksa untuk menghabiskannya dia takut malah muntah nantinya. 

"Mas, gak habis," terang Cahaya sambil menunjukan sisa makanan ke arah kakaknya.

"Dikit lagi Ay," bujuk Langit.

"Udah kenyang." Cahaya berusaha menolak.

"Mas suapin ya?" Langit masih mencoba membujuk.

Cahaya menggeleng sambil menampilkan wajah seakan-akan tersiksa. 

Merasa kasihan melihat wajah memelas sang adik  kemudian Langit membereskan sisa-sisa makanan itu. Meletakkannya di tempat yang tersedia agar memudahkan petugas yang akan mengambilnya nanti.

Saat Langit hendak kembali duduk di kursi yang tadi, tiba-tiba sang adik bertanya.

"Mas, tadi ada tamu mau jenguk Aya?" tanya Cahaya penasaran.

Pertanyaan adiknya membuat Langit mendadak bingung harus menjawab apa.

"Eh, tamu? Siapa?" jawabnya sedikit terbata namun dia tetap pura-pura tidak mengerti apa yang adiknya tanyakan.

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang