5. Tentang Kita

68 20 72
                                    



Hari ini, Cahaya sudah boleh pulang ke rumah. Dia hanya perlu istirahat yang cukup dan menjaga pola makan agar asam lambungnya tidak kembali naik. Tentu saja dia sangat senang, terlalu lama dirawat di sana pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dia tak mau membebani kedua kakaknya itu. Sebisa mungkin kini dia harus benar-benar mandiri, tidak boleh selalu bergantung pada kakaknya. Mereka juga punya kehidupan sendiri, istri dan anak yang harus diperhatikan.

Awan dan Langit masih setia menemani sang adik. Terhitung sudah 12 hari mereka di sana sejak sang ibu meninggal hingga hari ini. Untunglah mereka bukanlah pegawai kantoran yang waktu libur atau cutinya terbatas. Jadi selama apapun mereka ingin tinggal di sini tidak masalah. Hanya saja bukan itu masalahnya, tidak mungkin mereka selamanya di sini. Bukan berarti mereka akan meninggalkan sang adik, namun mereka harus mencari solusi yang terbaik untuk adiknya agar tidak sendiri di sini dan membuat mereka khawatir tentu saja.

Malam ini mereka sedang duduk bersama di ruang keluarga, atau lebih tepatnya ruangan untuk menonton televisi. Cahaya sudah terlihat segar setelah seharian tadi beristirahat. Mereka hanya bertiga, karena Nina istri Awan sudah pulang terlebih dahulu ke Surabaya. Begitu pula dengan Siska istri dari Langit pun sudah kembali ke Magelang. Bukan karena tidak peduli dengan adik ipar mereka, akan tetapi mereka juga mempunyai urusan lain yang sama pentingnya.

Dengan ragu akhirnya Awan mulai membuka pembicaraan.

"Ay, setelah ini rencananya kamu mau ikut Mas ke Surabaya atau ke Magelang sama Langit?"

Langit yang berada di sebelah Cahaya hanya menyimak saja. Kemarin setelah berdiskusi mereka memutuskan bahwa Awan lah yang akan bicara pada adiknya. Tidak ada alasan khusus sebenarnya hanya Langit merasa sebagai kakak tertua Awan lah yang paling tepat melakukannya. Juga karena akan membahas tentang kedatangan Hadinata. Langit hanya takut emosinya tidak terkontrol.

Cahaya yang sedang asyik melihat ke arah televisi terlihat kaget kemudian menoleh ke arah Awan yang berada di sampingnya.

"Maksud Mas Awan gimana ya?" tanyanya bingung.

Menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal, Awan bingung harus menjelaskan bagaimana maksud sebenarnya bahwa dia ingin Cahaya ikut tinggal dan menetap bersamanya atau Langit. Lebih tepatnya bingung memilih kata-kata yang pas.

"Gini Ay, maksudnya kan sekarang Ibu udah gak ada berarti kamu bakalan sendirian di sini. Jadi Mas sama Langit pinginya kamu itu ikut salah satu di antara kami." Awan mencoba menjelaskan apa yang menjadi maksud dan keinginannya. Berharap Cahaya tidak salah paham.

Masih dengan ekspresi kaget, Aya kembali bertanya." Ikut tinggal di sana maksudnya?"

Awan dan Langit kompak mengangguk.

"Kan Aya kerja Mas, terus kerjaan Aya gimana?" tanyanya lagi.

"Ya nanti kan bisa cari kerja di sana Ay, atau ikut bantu-bantu di tempat usaha Mas juga bisa kan?" Kali ini Langit ikut bersuara.

Cahaya masih tidak mengerti maksud dari kedua kakaknya itu. Ia kembali bertanya lagi.

"Memangnya Aya gak boleh tinggal di sini? bukannya ini rumah Ibu?"

"Bukan gitu maksudnya Ay, jadi pinginnya Mas sama Langit kamu ikut kalau gak ke Surabaya ya ke Magelang. Kita khawatir kalau kamu sendirian di sini, kalau ada apa-apa gimana?" Awan menjelaskan secara gamblang karena dia merasa Cahaya kurang paham maksud dan tujuannya.

Setelah mendengar penjelasan kakaknya Aya sedikit paham maksud mereka. Sambil tersenyum dia menyandarkan kepalanya di bahu Langit.

"Mas gak usah kuatir, Aya bisa kok sendiri di sini. Tenang aja pokoknya , aku kan udah gede eeh tua malah," jelas Cahaya sambil sedikit bercanda karena jelas terlihat wajah kedua kakaknya itu tegang.

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang