12. Asa Yang Kian Redup

57 16 32
                                    



Tidak terasa sudah lebih dari satu minggu berlalu dan bagi Hadi waktu terasa berjalan lambat. Selama itu pula Cahaya dan kedua kakaknya tidak pernah datang lagi. Sungguh hal itu membuatnya sangat sedih. 

Menurut Dokter yang memeriksanya jika hari ini keadaannya stabil dan tidak ada keluhan, besok dia sudah diperbolehkan pulang. Pada akhirnya Sundari mengalah dengan tidak membawa Hadi pulang ke kota asal dan tetap menunggu sang adik di sini.

Karena kesibukannya Wira tidak bisa sering berkunjung, terhitung tidak lebih dari empat kali dia menemui Hadi di rumah sakit, namun Hadi bisa memahami hal itu. Sesekali mereka berkirim pesan perihal kemana Cahaya pergi namun masih belum ada kejelasan.

Tadi pagi Astri menelpon dan mengatakan akan segera menyusulnya. Entah mengapa hal itu membuat Hadi malah merasa resah. Dia belum ingin pulang, hatinya belum rela sebelum bisa memeluk Cahaya. Kali ini dia tidak mau menyerah dengan mudah. Setelah bergelut dengan semua rasa yang ada di dalam hatinya selama puluhan tahun dia semakin meyakini bahwa Cahaya adalah separuh hidupnya.

Sundari datang membawa beberapa camilan dan air mineral. Setiap hari dia merasa adiknya semakin sering diam, bahkan saat mendengar istrinya akan datang pun dia tidak terlihat bahagia.

Sejak peristiwa yang dulu menimpa Hadi memang hubungan mereka menjadi renggang. Bahkan saat menikah pun adiknya tidak memberi kabar. Adiknya hanya mengirim pesan dan berkata kalau dia sudah menikah. Selama menikah hanya tiga kali Astri di ajak pulang ke rumahnya. Bagaimana kehidupannya di tanah perantauan juga tidak banyak dia ketahui.

"Di, jadi rencanamu gimana setelah sembuh. Apa langsung mau pulang ke Kalimantan, atau mau ke rumah Mbak dulu?" Sundari mulai membuka percakapan.

"Aku masih ingin disini," jawabnya singkat.

"Tapi Astri bilang mau langsung bawa pulang kamu."

Hadi kembali terdiam. Dia sudah bertekad dalam hati untuk mencapai tujuannya.

"Kalau kamu kelamaan di sini, pekerjaanmu di sana gimana?" 

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bahkan dia seperti tidak mendengar apa yang kakak perempuannya ucapkan.

Sundari tidak berani bertanya lagi takut jika nanti adiknya marah seperti tempo hari saat dia membicarakan Cahaya dan ibunya. Dalam hati dia juga bertanya kemana keponakannya itu. Apakah dia tersinggung dengan ucapannya kemarin? Mengapa tidak sekalipun menengok ayahnya? Ada sedikit rasa bersalah di hatinya, namun tentu saja dia tak mau menunjukkan itu.

***

Cahaya mulai membiasakan diri di tempat baru, walau terasa asing tapi dia mencoba menerimanya. Penerimaan keluarga Langit sangatlah baik. Siska sang kakak ipar, kedua keponakannya juga mertua Langit menerima Cahaya dengan tangan terbuka. Belum banyak yang bisa dia lakukan di sini, sesekali dia hanya ikut ke tempat usaha kakak iparnya untuk sekedar mencari kesibukan.

Hari ini Cahaya berjalan-jalan ke Alun-alun Kota Magelang untuk mencari sedikit hiburan. Ternyata suasana lumayan ramai padahal hari sudah sore. Setelah puas berkeliling, dia memutuskan untuk duduk di salah satu sudut yang tidak begitu ramai. Pikirannya kembali berkelana dan teringat tentang Hadinata. Bagaimana keadaan ayahnya sekarang, apakah sudah sembuh atau masih di rumah sakit. Apa dia masih di sana atau sudah kembali ke Kalimantan.

Saat Cahaya tengah sibuk dengan pikirannya tentang Hadinata, tiba-tiba terdengar sebuah suara memanggilnya.

"Cahaya." 

Menoleh ke sumber suara, Cahaya cukup terkejut dengan apa yang dia lihat.

"Mas Hendra?"

"Kamu kok bisa di sini, Ay?"

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang