11. Resah

52 14 21
                                    



Di ruang rawatnya Hadinata semakin resah karena hingga malam menjelang, Wira tidak kunjung datang. Padahal dia ingin bertanya tentang anaknya, lelaki itu merasa ada sesuatu yang terjadi entah apa itu.

Sepeninggal Cahaya dan kedua kakaknya, Hadi sempat bersitegang dengan Sundari. Dia tidak habis pikir mengapa setelah sekian tahun berlalu mereka belum bisa menerima Cahaya, bukankah anaknya tidak bersalah. Dialah yang harusnya mereka salahkan bukan Wening, apalagi anaknya. Bahkan mereka juga yang membuat Wening lari ke kota ini membawa Cahaya yang waktu itu masih berada di dalam kandungan. Namun, mengapa semua seakan tidak mau mendengar penjelasannya.

Sundari memberitahu Hadi bahwa Astri tidak bisa datang ke sini karena anak mereka sedang persiapan menjelang ujian akhir. Hal ini sedikit melegakan hatinya, entah mengapa dia takut jika istri dan anaknya bertemu langsung sementara dia bahkan belum bisa meraih hati Cahaya. Dia takut jika putrinya semakin menjauh. Kakak sulungnya itu juga bilang akan memindahkannya  ke rumah sakit yang ada di kota mereka jika kondisinya sudah memungkinkan. Alasannya masuk akal memang, jika di sini siapa yang akan merawatnya. 

Malam semakin larut, Wira benar-benar tidak datang mengunjunginya. Hadi sudah mengirim pesan namun belum juga dibalas oleh sang sahabat. Bahkan panggilan teleponnya pun tidak dijawab. Dia semakin yakin telah terjadi sesuatu.

***

"Lang, kamu udah lapor Pak RT tentang kepindahan Cahaya?" Awan memastikan lagi segala persiapan terkait kepindahan adiknya.

"Udah Wan, tenang aja."

"Terus Pakde Yanto udah tau juga kan kalau kita berangkat sore ini?" lagi,  Awan bertanya.

"Uwes, semua udah tak beresin. Lagian kan sebulan sekali aku balik kesini buat bersih-bersih rumah jadi kalau ada apa-apa pasti tau."

Awan mengangguk puas. 

"Lang, apa menurutmu ini yang terbaik buat Aya?"

Langit terdiam sesaat kemudian menjawab dengan sedikit memelankan suaranya.

"Setidaknya untuk saat ini, iya."

"Aku takut kalau istri orang itu datang ke sini dan mengatakan hal  yang tidak-tidak sama Aya sementara kita gak ada di sini." 

Untuk kedua kalinya Awan mengangguk menyetujui pendapat adiknya.

Dari balik pintu Cahaya mendengar percakapan kedua kakaknya. Hatinya seperti teriris sekaligus bersyukur menjadi adik dari mereka berdua, walaupun tidak berasal dari benih yang sama tapi kasih sayang mereka seperti tak terbatas. Benar kata Awan kemarin, dia tak butuh seorang Hadinata. Gadis itupun yakin keputusan ini adalah yang terbaik, dengan tinggal bersama salah satu dari mereka setidaknya dia mengurangi beban pikiran kedua kakaknya itu.

"Ayaaa." Langit memanggil.

Menghapus jejak air mata yang sempat turun segera Cahaya melangkah ke arah sumber suara.

"Ya, Mas," sahut Cahaya dengan suara seceria mungkin.

"Udah siap tuan putri?" 

"Sampun ndoro." Cahaya membalas candaan Langit.

Langit dengan cepat menarik kedua pipi si tuan putri yang selalu dia ejek mirip bakpaou itu. Cahaya tidak terima langsung mencubit perut kakaknya yang sedikit berlemak dan membuat si empunya mengaduh kesakitan.

Awan tertawa melihat tingkah kedua adiknya. Walaupun saat Cahaya kecil mereka jarang bersama, namun seiring berjalannya waktu dan semakin bertambahnya usia mereka bertiga malah semakin dekat. Mungkin karena dulu mereka sibuk mencari uang untuk menafkahi ibu dan  si adik kecil  jadi terlihat abai pada si bungsu. Namun setelah perekonomian mereka stabil, bahkan sudah mempunyai usaha sendiri hubungan ketiganya sangat baik. Ada rasa bangga saat melihat si bungsu yang mereka perjuangkan sekuat tenaga sudah sebesar ini. Setelah melewati segala kesulitan, cacian, hinaan nyatanya mereka bisa bertahan. Mata Awan terasa memanas saat teringat kembali masa-masa kelam itu. Tidak ada dendam di hatinya karena semua sudah suratan yang harus mereka lalui. 

Sebait Asa Di Ujung Senja ( Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang