Sang surya kini telah meninggi, saat menggerakan kedua kakinya bermaksud untuk merapatkanya, tetapi yang ia dapatkan adalah rasa sakit yang luar biasa di area selangkangannya. Embun meringis sembari menahan sakit, mengingat kejadian semalam membuatnya frustasi. Semalam Ravindra benar-benar liar, bahkan tak membiarkan Embun untuk beristirahat walau sejenak.
Hari semakin siang, Embun tak di perbolehkan untuk mendekati pintu kamar dan hanya boleh berbaring di atas ranjang saja. Gadis itu menuruti semua ucapan Ravindra, sejauh mana pun Embun protes, pria itu tidak akan mau melepaskannya. Ravindra mendekat ke arah Embun, mengusap pelan surai gadis di sampingnya.
"Kamu udah nggak bisa kemana-mana lagi Embun, semalam kakak ngeluarinnya di dalam dan kakak harap benih itu cepat tumbuh menjadi bayi yang lucu."
Embun terdiam, menatap ke arah tembok dengan wajah datarnya. Namun, hatinya menjerit keras, rasa sakit hatinya sudah terlalu tertumpuk, tetapi tak bisa melakukan apapun selain menurut. Embun merasa kotor, tak pantas hidup dan hanya beban saja.
Dalam pikiran Embun adalah bagaimana reaksi Selly dan Fitry begitu mengetahui dirinya yang sudah tak perawan? Bahkan bisa saja dia hamil dengan sangat cepat. Embun memejamkan matanya perlahan, menikmati setiap rasa sakit yang menyerang fisik dan batinnya.
Hidup terlalu sulit dan suram bagi seorang gadis yang masih berumur enam belas tahun itu. Dia harus menerima kenyataan pahit bahwa semuanya sudah terjadi atas kehendak kakak kelasnya. Mengapa harus dia? Bukankah hidupnya sudah cukup sulit dengan kelakuan papanya yang akan susah di maafkan.
Terlalu sakit! Ia tak mau menampungnya seorang diri, tetapi tak tahu harus membagikannya pada siapa?
"Ravi?" Embun memanggil sembari menatap wajah sumringah kakak kelasnya itu.
"Bantu aku," lanjutnya dengan suara yang hampir tak terdengar.
"Bantu apa sayang?"
"Buat papa hancur dengan bisnisnya dan tolong jangan biarin papa ngeliat aku lagi. Aku gak sudi punya papa tukang selingkuh, gak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali."
Mendengar itu, Ravindra semakin senang dan bersemangat. Ia mengangguk paham dan mengecup lembut dahi Embun.
Sejujurnya Ravindra sudah menunggu moment ini, dia sangat ingin melihat papa Embun hancur, karena membuat gadis yang dia cintai terluka. Sungguh tak sadar diri, bukankah Ravindra sudah cukup membuat hidup gadis itu menderita? Tak sadarkah dia?
Ravindra beranjak dari sana, menutup pintu dan mengunci dari luar. Dia juga menelpon seseorang dan berjalan menuruni anak tangga. Di sisi lain, Embun menangis. Dia ingat dulu saat masih kecil, papanya sering mengajaknya ke pemakanan mamanya.
"Maafkan Embun, ma. Embun nggak mau mama sakit hati di sana ngeliat kelakuan papa yang gak bisa di toleransi. Kelakuan papa benar-benar sudah melampaui batas, nggak tau diri."
"Harusnya mama tidak meninggal, agar mama bisa langsung melabrak mereka. Embun ingin, tetapi nggak sudi liat wajah papa. Embun gak mau dendam ini makin besar. Maafin Embun ma, nggak bisa jadi anak yang berbakti. Embun bahkan udah kotor, gak pantes hidup. Embun mau nyusul mama aja. Embun mau cerita semuanya ke mama, kenapa harus Embun yang menerima semua ini?"
Dia berbaring sembari merentangkan kedua tangannya. Menangisi nasibnya yang sudah kacau balau. Menangis pun tak ada gunanya, toh semuanya sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur.
Malam harinya, sebuah ketukan terdengar di luar kamar yang di tempati oleh Embun. Gadis itu menoleh dan berpikir pasti itu adalah Ravindra jadi dia tak menjawab hingga ketukan itu terdengar lagi dan terkesan tergesa-gesa.
![](https://img.wattpad.com/cover/298819662-288-k617854.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession (🔞)
Teen FictionSegala pikiran negatif terbayang di benak gadis tersebut. Seketika dia menghentikan aktivitas menangisnya, Embun yang tadinya memiliki banyak keberanian, kini hilang entah kemana. Melihat perubahan sikap pada Ravindra, Embun menjadi semakin takut. I...