14 - Capek

571 117 60
                                    

•••••

Gue kuat, tapi gue cape.

•••••

"Suka sama dia sama sekali nggak menguntungkan buat lo, Nath." cetus Arka tanpa basa-basi. Mengutarakan apa yang dia pikirkan. Menurutnya, Nathan perlu diberi peringatan jika sudah tentang Senja.

Nathan menoleh, menginjak putung rokok yang baru saja dia jatuhkan. "Gue suka dia tanpa pamrih."

Arka menarik sudut bibirnya. Disertai kekehan kecil yang terdengar seperti sebuah cemohan. "Jatuh cinta emang terlalu bahaya. Bahkan laki-laki yang katanya mahluk paling nengandalkan logika aja bisa sebodoh ini setelah kenal cinta."

Nathan mengangguk saja. "Senja terlalu indah buat nggak diperjuangkan. Dia terlalu berharga buat ditinggalkan gitu aja."

"Gue cinta dia tanpa rencana, Ka."


•••••


Senja menghentikan langkah kala melihat beberapa orang berdiri didepan rumahnya. Meski cahaya malam yang minim, dia cukup hapal dengan bentuk manusia-manusia disana.

"Sial!" Senja berdecak. Dia bersembunyi dibalik pagar, memastikan wajah orang-orang yang mengelilingi rumahnya.

"Rentenir setan!"

Hanya satu yang perlu dilakukan. Pergi dari sini sebelum dirinya diseret untuk ikut bersama bedebah-bedebah itu.

Srekk!

Ranting kayu sialan. Dia memejamkan mata menahan kesal, juga berpikir bagaimana nasibnya setelah ini.

"Itu anak Juna!" sontak Senja berlari. Beberapa kali terjatuh karena kalang kabut. Dia belum siap, tapi sudah dikejar saja.

"Bangsat." desisnya sambil beberapa kali menoleh ke belakang. Ini adalah definisi olahraga malam yang sebenarnya.

Senja terkejut bukan main saat jalannya dihadang. Tangannya ditarik kencang kedepan. "Naik!"

Dia menyentak keras cekalan manusia diatas motor itu. "Ini aku. Ayo, buruan naik!" Senja menyipit, menatap sepasang mata dihadapannya dengan sedikit terengah.

Galang kembali menarik Senja tak sabaran. Membuat gadis itu mau tak mau duduk di jok belakangnya. "Buaya lo!" Senja memekik. Kaget, saat Galang menarik gas dengan kasar secara tiba-tiba yang membuatnya refleks memeluk cowok itu.

Galang tersenyum. Dia merindukan Senja lebih dari yang terkira.

"Kita kejar sekarang, Bos?" Gaha, rentenir sekaligus germo itu menggeleng.

"Terlambat. Dia pasti sudah jauh." anak buahnya mengangguk patuh. Kesal? Jelas, iya. Berkali-kali mereka mendatangi rumah ini. Tapi baik Juna ataupun Senja tak bisa membayar apapun.

"Lolos lagi. Saya pastikan gadis itu akan menjadi bayaran yang setimpal untuk semua waktu yang saya habiskan tanpa hasil."

•••••


Sebuah angkringan tua menjadi tempat pemberhentian mereka. Cukup jauh Galang membawa gadis itu pergi. Senja tak mau diantar pulang dan berkali-kali meminta waktu sendiri. Yang benar saja, mana mungkin dia meninggalkan Senja sendirian. Ini sudah malam.

"Mereka siapa?" tanya Galang memulai percakapan. "Rentenir," gadis itu menyahut enteng.

"Rentenir?"

"Ayah gue masih suka judi. Uangnya dari mana kalau nggak dari ngutang. Kerja aja nggak pernah." Galang menoleh. Menatap Senja yang memandang lurus kedepan dengan tatapan kosong.

Danum SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang