-PROLOG-

353 45 7
                                    

---

Malam itu, hujan turun begitu deras mengguyur langit Kota London, diikuti dengan sambaran kilat dan gemuruh guntur yang bersahut-sahutan. Orang-orang berlarian basah kuyup, dan beberapa tampak mengenakan payung. Cuaca buruk hari itu membuat hampir semua warga Kota London memilih tinggal di rumah mereka yang nyaman dan hangat sambil meminum cokelat panas dan menyaksikan berita tentang badai hari ini yang disiarkan hampir di semua stasiun TV.

Di sebuah wilayah kumuh di tengah-tengah kota London, di area 'rimba' yang jauh dari keramaian manusia, tikus-tikus berlarian dan burung-burung gereja yang hinggap di atap-atap rumah mendadak terbang dalam kepanikan. Cahaya kehijauan terlihat berpijar samar dari tepian sungai di wilayah itu, muncul dan menghilang secepat kedipan mata tanpa ada satupun manusia yang berhasil menyadari keberadaannya. Seorang pria muncul dari cahaya kehijauan itu, berjalan dengan gontai, membiarkan hujan deras membasahi seluruh tubuhnya yang menunduk putus asa.

"Hancur sudah...."

Pria itu mendengus, emosinya bercampur antara kemarahan dan kesedihan yang mendalam. Airmatanya bercucuran bercampurkan hujan, isakannya yang menyedihkan teredam oleh kerasnya gemuruh guntur yang bersahutan. Pria itu naik ke sebuah rumah kumuh yang sudah tidak berpenghuni lagi. Tikus-tikus dan serangga langsung berlarian ketika pria itu menginjakkan kaki ke lantai kayu rumah yang berderik. Ia duduk berteduh di teras rumah, menatap hujan yang seolah ikut menangisi kemalangan yang telah terjadi hari ini.

Semuanya sudah hilang, harapan, kekuatan, impian, keinginan untuk hidup. Pria itu sudah sampai di titik kesedihan dalam hidupnya di mana ia sudah tak punya apa-apa lagi untuk dimiliki dan tidak punya apa-apa lagi untuk dikorbankan. Matanya menggelap karena keputusasaan, dengan tangannya yang bergetar lemah ia menarik sebuah tongkat kayu dari sakunya dan mengarahkan itu ke jantungnya sendiri.

"Av-"

Zzapp!!!

Suara teriakan bayi disertai pijaran cahaya hijau langsung mengejutkan pria itu. Seperti tersadar akan suatu hal, dia menyimpan kembali tongkatnya dan berlari dengan panik menuju ke tepian sungai yang menjadi tempat awal kemunculannya. Sesampainya di sana, ia terdiam melihat sosok perempuan telah berdiri dihadapannya. Perempuan itu terpincang-pincang, matanya sayu, tubuhnya kurus sekali, tampak gila, sekarat dan penuh dengan luka-luka. Tangan perempuan itu memegang sebuah tongkat kayu usang dan ia terus menggumamkan kata-kata yang sangat menakutkan, "Bunuh, bunuh,....". Di dalam gendongan perempuan itu terdapat bayi perempuan yang terus menggeliat dan menangis sekeras-kerasnya. Wajah dan pakaian anak itu penuh dengan noda darah yang berasal dari perempuan yang menggendongnya.

"Mamma....m-mamma...."

Bayi itu menangis terisak. Memanggil-manggil dan sesekali memukul lemah perempuan gila yang sepertinya adalah ibu dari bayi itu. Perempuan itu juga ikut terisak saat bayi itu memanggilnya, namun kemudian ia tertawa, lalu terisak lagi dan kemudian tertawa lagi, seperti itu seterusnya. Dengan tangannya yang gemetaran, wanita itu mengangkat tongkat sihirnya dan mengarahkan itu kepada sang bayi.

"Crucio!"

Percikan cahaya keluar dari tongkat perempuan itu dan langsung menyambar ke kepala si bayi. Teriakan melengking menyayat hati pun terdengar. Tubuh bayi itu mengejang kesakitan, matanya mendelik ke sana kemari dengan darah mengalir di hidung dan mulutnya. Pria itu membelalak, dengan cepat ia menarik tongkatnya dan meneriakkan mantra ke arah perempuan itu.

"Expelliarmus!" Cahaya biru memancar dari tongkatnya, meluncur dengan cepat dan melucuti tongkat perempuan itu. Tangisan bayi pun menghilang, kepalanya tertunduk, sepertinya tidak sadarkan diri.

Perempuan itu menatap si pria dengan wajah terkejut. Ia tertawa mengerikan, lalu kemudian terisak, tertawa dan kemudian terisak lagi, membuat pria di hadapannya semakin waspada pada perempuan gila itu.

"K-kau...." Perempuan itu berjalan tertatih-tatih menghampiri si pria. Sementara pria itu tetap berdiri tegak dengan tongkat kayunya yang masih tergenggam erat.

"T-tolong...." Tiba-tiba wanita itu mengerang, airmatanya bercucuran, dengan tangan yang bergetar hebat ia menyerahkan bayi di gendongannya itu kepada si pria. Pria itu terbelalak, ekspresinya yang semula sangat waspada sontak berubah menjadi keterkejutan. Ia tidak menyangka dengan apa yang dilakukan oleh perempuan gila itu.

Mulut wanita itu bergerak dengan susah payah. "She is the last blood of...."

Blarrr!!!!

Suara gelagar sambaran petir meredam percakapan keduanya. Hal selanjutnya yang terlihat hanyalah bayi mungil itu yang sudah berada di gendongan si pria dengan perempuan didepannya yang kini berteriak histeris didepan seperti orang kesetanan. Perempuan itu berlari, mengambil tongkatnya yang terjatuh dan mengacungkannya ke arah si pria sembari berteriak marah.

"Aargghhh!!!!!! Akan kubunuh kau!!!! Av-" Wanita itu baru saja hendak melemparkan serangannya, namun si pria bergerak jauh lebih cepat. "Avada Kedavra!" Cahaya kehijauan keluar lebih dahulu dari ujung tongkat si pria, memancar tepat kearah jantung perempuan malang itu, kejadiannya terjadi begitu cepat. Perempuan itu terhenyak sesaat, ia menuduk menatap dirinya sendiri dan darah perlahan mengalir di mulut dan hidung perempuan itu.

Perempuan itu mendongak dalam diam, Iris matanya yang hijau sempat bertemu dengan tatapan gelap dari pria itu, sebelum akhirnya tubuh wanita itu tumbang ke tanah, berubah menjadi jasad tak bernyawa dan tidak bergerak lagi.

Sunyi sesaat.

"Maafkan aku," ucap si pria dengan tatapan mata yang kosong, seolah melihat kematian seperti ini bukanlah kali pertama baginya. Ya, sejatinya ia memang sudah banyak melihat hal yang sama, terlalu banyak sebenarnya. Sekali lagi, pria itu mengayunkan tongkatnya ke arah jasad si perempuan dan membakar tubuh yang ringkih itu menjadi abu. Dengan tongkatnya pula pria itu menerbangkan abu jasadnya dengan perlahan ke aliran sungai dan menghanyutkannya disana, bersama dengan tongkat kayu tua milik perempuan itu yang sudah dirusak dan dipatahkan.

Pria itu berdiri dalam diam, memandang abu yang kini telah bercampur dengan jernihnya aliran air sungai. Didalam gendongannya kini, terdapat seorang bayi yang sedang tertidur pulas. Darah yang mengering masih tampak di mulut dan hidung anak itu. Namun, ia terlihat jauh lebih damai kali ini dan mulai mendengkur halus.

Pria itu menepuk pelan punggung si bayi dan kembali menatap aliran sungai yang beriak oleh derasnya hujan.

"Beristirahatlah dengan tenang."

The Last Blood-Muggleborn-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

The Last Blood
-Muggleborn-

The Last Blood-Muggleborn-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Somewhere (26/01/2022)

Sincerely,
Ren

THE LAST BLOOD (Muggleborn)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang