Stasiun

12 4 5
                                    

Zam berjalan melenggang menyusuri pusat kota, ia sekejap membuka layar handphone menggulirkan layar dan mengklik di pesan grup.

Pemuda jangkung dengan setelan kemeja dan celana pendek ala pelayan restoran kecil kota itu sedikit berdecak.“Dasar si tua itu, gue udah keluar dari tempat lo pak tua,” gerutunya sambil melanjutkan langkah.

Beberapa langkah melewati keramaian, ia mendengar seseorang berteriak dari seberang.

“Oi!” Zam menoleh, baru saja ia akan meluapkan ekspresi yang tertahan, tetapi ternyata itu bukan dari sumber suara yang ia inginkan.

“Oi, awas!” sebuah sepeda motor hampir menyerempet Zam yang lesat melompat dengan kontan.

“Oi, jalan pakai mata!”
Sang pengendara motor menoleh ke arah Zam, “Jalan liat arah!”
Seketika Zam langsung melirik sekitar, ia menenggelamkan pandangannya, langkahnya lebar, sedikit kikuk.

Beberapa klakson dan kendaraan yang melesat menghalanginya untuk sampai ke seberang jalan.

***

Di sebuah taman kota kecil, seorang pemuda tengah bersandar dengan kursi panjang taman. Kursi itu memuat tiga orang, ia masih duduk sendiri, merentangkan tangan dan tubuhnya ia lentingkan hingga tulang belakang membentur tulaang kursi taman.

“Eummm, sudah pada sampai di mana ya, sudah hampir sore, nih,” keluh Haikal sambil melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri.

Haikal melirik ke ke sana kemari, menyapu pandang.

Tiba-tiba terdengar teriakan dari kedua sahabatnya, “Oi, kami di sini!” seru Regan dengan wajah sumringah.

Haikal membalas dan lekas menyambut dengan beranjak dari kursi yang kini kosong.

“Hai, kalian!”
Ketika ketiganya tengah berkumpul, Haikal menepuk bahu kedua sahabat karibnya.

“Bagaimana kabar kalian?”

Zam menekuk bibirnya sambil merentangkan tangan. “Lo bisa melihat sendiri, tubuh ini!”

Haikal nyengir, “Ya, kau masih tampak seperti bambu tiang bendera di rumahku kawan,” ungkapnya sambil tertawa kecil. “Kau bagaimana?” Haikal mengarahkan telunjuknya kepada Regan.

“Ya, sama aja, meski ... sekarang aku BEBASSS!!!” teriaknya sampai-sampai semua orang menoleh ke arahnya.

“Lo, kenapa?” Zam menggeleng.

“Abis obatnya, kali? Kamu kira-kira dong!”

“Iye,” balas Regan, mulutnya menekuk ke samping ketika berkata sambil bertolak pinggang.

Haikal dan Zam saling lirik. Kemudian keduanya mengarahkan pandangan pada Regan.

“Apa yang kalian lihat?” tanya Regan bimbang.

“Ini hari kebebasan lo kawan!” seru Zam sambil menarik Regan ke tengah taman, Haikal mengekor dari belakang, mengintip layar Handphone-nya. Mengetuk beberapa kali. Ia siap untuk merekam aksi kedua sahabatnya itu.

Zam menyeret Regan di tengah keramaian, mereka berlarian, Zam membawa mereka ke simpang empat dan tak sadar bahwa ada polisi yang tengah bertugas untuk menilang kendaraan.

Ketiganya masih asyik dengan suasana lingkup mereka tanpa memperhatikan sekelilingnya. Sementara itu, lampu lalu lintas telah berubah warna, aksi yang dilakukan ketiganya membuat lalu lintas sedikit kacau sehingga menarik perhatian polisi yang bertugas.

Ketiganya baru tersadar ketika polisi mengejar sambil berseru serta membunyikan peluitnya beberapa kali.

“Gawat!” kata Zam.

Regan menepuk dan menarik baju kedua temannya untuk memberi isyarat untuk lekas pergi.

“Kabur, woi! Kabuuur!”

Ketiganya berlarian ke arah yang tak pasti sampai mereka melihat halte. Kemudian menuruni tangga yang mengarah ke sebuah stasiun kereta bawah tanah. Ketiganya berlarian menuruni tangga, melintasi gerbang tiket dan kembali menuruni tangga untuk sampai di peron kereta.

“Woi, kita ke sana aja!” ujar Zam dengan sigap menarik kedua sahabatnya untuk mengikutinya, mereka berlarian ke tempat yang jarang dilalui orang atau penumpang, makin jauh dan makin jauh mereka berlari.

“Stop, stop!” Regan berhenti, ia menunduk dan membungkuk, rambut gondrongnya melayu, butiran air keringat masih bergelantung di ujungnya.

“Sepertinya ... mereka sudah ... tidak menemukan kita,” kata Regan dengan napas tersengal, ia menarik napas, menelan udara yang sedikit mengganjal dan sulit tertelan. Tenggorokannya kering, hingga ia mengernyit.

“Yah, sepertinya kita sudah aman,” kata Zam yang berkacak pinggang menahan tekanan dan gejolak di perutnya, terasa kram.

Sementara Haikal telah terduduk dengan berselonjor kaki.

REGAN IN DARK CITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang