6. Goodbye?

486 220 22
                                    


Arini akan ke sekolah siang ini untuk mengurus kepindahan kamu.

Aku merasa seperti disambar petir saat membaca pesan singkat dari Mom. Aku salah karena berpikir ibuku nggak bakal serius. Ternyata dia sangat serius.

"Kenapa Jen?"

Carl menyenggol lenganku dengan lembut. Kami sedang di koridor lantai delapan belas, berbarengan dengan anak-anak lain yang akan pergi ke klub masing-masing. Meski dibayang-bayangi serangan Toni, tampaknya semangat anak-anak untuk ikut kegiatan klub tidak berkurang.

Buru-buru kusimpan ponselku ke dalam saku. "Bukan apa-apa, Carl."

Carl malah berhenti. "Are you sure?"

"I'm sure."

"Apa ini soal latihan khusus kamu sama Pak Prasetyo?"

Aku sudah memberitahu Carl soal pertemuanku dengan Kepala Sekolah kemarin, tetapi masih merahasiakannya dari Tara, Meredith dan Reo. "Bukan. Bukan soal itu."

"Kalau begitu, apa?"

Hatiku dipenuhi perasaan bersalah. Bagaimana aku harus memberitahu Carl bahwa aku kemungkinan akan pindah ke New York? Aku tidak boleh merahasiakan hal sepenting ini dari pacarku. Kami sudah kehilangan Billy dan teman-teman yang lain.

"Ada yang mengganggu pikiran kamu," lanjut Carl hati-hati. "Kamu selalu bisa cerita ke aku, Jen. Apa pun itu. You know that."

Bukannya aku nggak mau cerita atau nggak percaya pada Carl. Sejak kecil aku selalu dididik untuk mandiri dan mengurus semuanya sendiri (meski sebagai Jennifer Darmawan, banyak hal yang sudah "diurus" untukku). Aku terbiasa di-"sendiri"-kan karena statusku. Punya orang-orang yang bisa dipercaya seperti Carl, Tara, Meredith, dan Reo adalah hal yang baru untukku. Seringkali aku lupa bisa mempercayai mereka.

Jadi aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan masalah kepindahanku ini. Kukeluarkan ponselku lagi dan kutunjukkan isi chat antara aku dan Mom—aku sengaja menolak semua panggilan telepon Mom sejak panggilan dadakan tempo hari sehingga perdebatan kami dilanjutkan lewat chat. Carl membaca chat itu dengan teliti, pupil matanya yang biru jernih seperti laut bergerak sistematis dari kiri ke kanan.

"Jadi kamu mau kembali ke New York..."

"Aku nggak mau, Carl."

Carl hanya diam. Dia menggigit bibirnya dan mengembalikan ponselku. "Mungkin itu memang yang terbaik buat kamu, Jen."

Apa? Jawabannya di luar dugaanku. "Kamu mau aku balik ke New York?"

"Kamu bisa lebih aman di sana," sahut Carl sambil menatapku lurus-lurus, untuk memperlihatkan bahwa dia serius. "Toni mungkin nggak akan mengejar kamu sampai ke sana."

"Jadi menurut kamu di New York aku bisa lebih aman, begitu? Toni bisa mengendalikan realitas. Dia tinggal bikin portal ke New York buat ngejar aku!"

Carl mendesah, bahunya terkulai. "Aku nggak tahu. Hanya saja, aku merasa nggak seharusnya kamu yang disibukkan untuk mengejar Toni. Ada Dewan Pengawas Pengendali, seharusnya urusan Toni jadi tanggung jawab mereka. Kita cuma anak-anak SMA, Jen."

"Carl, aku Pengendali Utama!" Aku betul-betul heran dengan sikap Carl. Kenapa dia tiba-tiba jadi lembek begini? "Kalau ada satu-satunya orang yang bisa menghentikan Toni, akulah orangnya. Ini memang tugas aku, Carl!"

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang