Tidak. Apa jangan-jangan...
Aku membungkuk dan menyentuh lengan Pak Gino. Tubuhnya masih hangat, tetapi beliau sudah tidak bereaksi. Baru lima menit yang lalu Pak Gino meninggalkan teras. Belum sampai dua menit saat bel itu berbunyi, Pak Gino pasti yang membukakan pintu itu.
"Pak Gino..."
"Dia sudah mati."
Brengsek!
Aku berbalik dan melihat Alice alias Toni sedang duduk berselonjor di sofa, seperti berada di rumahnya sendiri. Dia memakai celana panjang ketat warna hitam, dan jaket kulit yang juga berwarna hitam. Rambut model pixie-nya kini punya highlight merah di sana-sini, seperti lidah-lidah api. Melihat penampilannya, aku jadi teringat pada Catwoman.
"Gimana caranya kamu menemukan kami, Toni?"
Toni bangkit dengan hati-hati, gerakannya lagi-lagi mengingatkanku pada kucing yang baru bangun tidur. Gadis itu mengangkat tangannya. Kulihat ada dua kepingan kaca kecil yang berputar-putar di ujung jarinya, seperti meteor-meteor mini. Dan kaca-kaca itu berwarna merah, ternoda darah.
"Kalian orang-orang yang licik..." Toni menjilat bibir dan mendekatiku. Aku refleks mengambil jarak darinya. "Kalian memanfaatkan ilusi yang belum solid ini, lalu memodifikasinya. Seharusnya Tara si pengendali dimensi sialan itu juga turut kulenyapkan tapi... hmm... aku terlalu meremehkan kalian. Apa ya istilahnya?" Dia mengembus seperti orang mengembuskan asap rokok. "Kesalahan seseorang adalah keuntungan bagi lawannya? Kupikir setelah kekuatan kamu dimusnahkan, kamu bakal menyerah, Jen."
Aku harus mengulur waktu selama mungkin, sampai orang-orang rumah menyadari kedatangan Toni. "Jawab pertanyaanku!" Aku berteriak keras-keras, sengaja menimbulkan keributan. Suaraku bergema di rumah yang luas itu. "Gimana caranya kamu tahu kami berada di titik waktu ini?"
"Ketololan kamu itu benar-benar bikin aku muak, Jen," desis Toni. "Siapa yang membuat realitas alternatif ini? Aku. Kalian memang telah mengacaukan ilusi ini, tapi seorang pencipta pasti bisa memahami ciptaannya." Dia mendekat. "Kalian berpikir bisa lari dariku. Padahal aku sengaja memberi kalian waktu sehari untuk memulihkan diri, soalnya kalau kalian semua langsung mati, permainan ini jadi nggak seru, kan?"
Toni meniup udara. Kabut terbentuk di depannya. Aku mundur sambil mengamati sekeliling ruangan, mencari-cari benda yang bisa dijadikan senjata. Ada sebuah kursi kecil yang terbalik karena gempa barusan, dan kakinya patah. Kuambil salah satu kakinya. Semoga ini bisa dijadikan pemukul.
"Aku ingin membunuh kamu..." bisik Toni, suaranya sedingin es. "Selagi kamu bernapas..."
Kabut itu memadat seperti embun, dan mulai berubah bentuk. Toni berhenti meniup, dan tiba-tiba kabut itu menjelma menjadi sosok Pak Gino, persis seperti yang terbaring berlumuran darah di depan pintu. Hanya saja lehernya tidak terluka.
"Jen..." kata Pak Gino, tangannya terjulur untuk menyentuhku. "Kamu... yang membunuh saya... Kamu... jahat sekali..."
Apa Toni menghidupkan kembali Pak Gino? "Bukan! Bukan saya!" Tapi kalau nggak salah, kekuatan pengendalian tidak bisa menghidupkan orang mati, kan? Kalau begitu yang di depanku ini apa? Roh penasaran? "Itu... Bapak dibunuh oleh... keponakan Bapak sendiri."
"Anisa tidak mungkin membunuh saya. Saya pamannya. Dia menyayangi saya."
"Ta-tapi, kalau begitu, siapa yang—"
"Kamu, Jen. Kamu yang membunuh saya, Pak Prasetyo..." Suara Pak Gino yang dalam berubah menjadi bisikan keji Toni. "Dan Lucien..."
Toni menjentik. Dua kepingan kaca di ujung jarinya melesat ke Pak Gino di depanku, menyayat lehernya. Darah memercik ke wajahku, aku menjerit kaget. Pisau-pisau itu melesat maju mundur, tubuh Pak Gino tercabik-cabik. Guru Kimia itu menjerit-jerit kesakitan sekaligus meminta tolong ("Jen, Jen... tolong saya!") darahnya berhamburan mengenaiku seperti disemprot dari selang kebun. Aku terhuyung-huyung mundur, tanganku menggelepar berusaha menghentikan hujan darah itu—begitu menjijikkan, begitu mengerikan... aku tak sanggup melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)
FantasyBuku terakhir dari trilogi The New Girl. Jen harus berhadapan dengan Antoinette, pengendali langka dengan kekuatan yang mengerikan. Di tengah-tengah usahanya untuk mengatasi Antoinette, Jen mendapat kabar buruk yang mengharuskannya kembali ke New Yo...