13. Bayangan

429 202 34
                                    


Aku betul-betul sulit memikirkan urusan sekolah beberapa hari belakangan ini.

Aku terus terbayang-bayang kenangan masa lalu Toni dan Lucien. Apalagi aku sudah "dijadwalkan" untuk mampir lagi ke markas Dewan Pengendali untuk memeriksa Lucien. Minggu depan, Pak Pangestu memintaku mampir lagi untuk "menginterogasi" Lucien, meski sebetulnya aku tidak yakin apa lagi yang harus kutanyakan pada cowok itu. Dia sudah memberitahuku kelemahan Toni: rasa sepi. Seharusnya aku memikirkan bagaimana caranya memanfaatkan kelemahan itu untuk menjatuhkan Toni, tapi sejujurnya aku masih belum punya ide bagus.

"Jadi lo melihat semuanya, Jen?" tanya Meredith dalam perjalanan kembali dari rumah kaca. Pelajaran Biologi tadi berlangsung lancar tanpa insiden (si kembar memecahkan dua pot bunga, tetapi Bu Nanda sudah terbiasa oleh huru-hara yang dibuat mereka berdua). "Lucien waktu kecil kayak apa?"

"Gue nggak bisa melihat wujudnya Lucien, Dith." Kunaikkan tali tasku yang sudah melorot karena keberatan buku. "Gue jadi Lucien-nya."

Meredith mengumpat karena takjub.

"Ryu-san ikut terus, ya?" selidik Tara. Belakangan kuperhatikan Tara selalu bertanya tentang Ryuichi Sahara.

"Iya. Dia sama Pak Prasetyo setia menemani gue."

"Memangnya Dewan Pengendali nggak punya pengendali pikiran?" Carl menimbrung. "Perasaan semester lalu mereka mengirim dua pengendali pikiran buat mengawasi kamu, Jen."

"Pak Prasetyo nggak percaya sama pengendali pikiran dari Dewan," kata Reo dari belakang kami. "Beliau enggan menghubungkan pengendaliannya dengan orang-orang Dewan, dan cuma mempercayai Nii-san."

"Yah, kalau orang-orang Dewan sih..." Meredith mendengus dan memutar matanya. "Siapa juga yang mau percaya sama mereka?"

Kami berbondong-bondong kembali ke kelas. Beberapa anak terluka karena serangan di pesta ulang tahunku, dan setiap kali melihat wajah atau lengan mereka yang dibalut perban, aku merasa sangat bersalah.

Pelajaran selanjutnya adalah Matematika. Bu Olena muncul di kelas tanpa terlambat sedetik pun (sudah tipikal guru yang satu itu) dan mulai mengajar tentang Trigonometri. Pelajarannya cukup sulit, dan dalam satu jam saja setengah kelas sudah menyerah. Dari balik iPad mereka, kulihat si kembar sedang main tic-tac-toe melawan Vishnu. Iswara menggerakkan pensilnya di atas catatan, tapi dia malah menggambar. Wynona bahkan sudah buka jasa manicure ilegal di belakang kelas (Magda Ratulangi jadi customer pertama). Reo yang termasuk cowok rajin, juga sudah menguap beberapa kali. Di depanku, Carl sedang menekuni catatannya, tampaknya dia belajar sungguh-sungguh. Tara melilitkan pensil ke ikal-ikal rambutnya sambil bersenandung kecil. Hanya Meredith yang masih menyimak dengan tekun.

Diam-diam kukeluarkan ponselku. Bu Olena tidak pernah memarahiku di kelas—beberapa anak terang-terangan menyebutku anak emas Bu Olena, tapi aku tahu beliau memperlakukanku dengan "spesial" karena memahami beban yang harus kutanggung sebagai Pengendali Utama.

Aku mengecek chat dari Toni tempo hari. Tidak diragukan lagi, dia sedang mengawasi kami semua dari suatu tempat. Apa yang akan dilakukan cewek itu sekarang, setelah Lucien tertangkap?

Seandainya aku membalas pesan ucapan selamat ulang tahunnya itu, apa Toni akan merespon balik? Semestinya dia lebih berhati-hati, karena sekarang Lucien sedang ditawan.

Aku berpaling ke jendela. Matahari sedang bergerak ke titik tertinggi, karena sebentar lagi waktunya istirahat siang. Mendadak aku kepengin makan sesuatu yang gurih-gurih.

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang