Aku tidak mau menerima jawaban itu. Terlalu mudah. Aku tidak rela menerimanya begitu saja. Pak Gino tampaknya akan menyerah—aku mengerti alasannya—tapi dia tidak bisa menyerah sekarang, saat kehidupannya dan kehidupanku sedang dikacau balaukan begini. Dan dia satu-satunya orang di kehidupan versi ini yang mengenalku. Hanya dia yang bisa menolongku.
Aku memikirkan alasan untuk menolak. "Apa Bapak nggak mau bertemu Toni lagi? Kalau Bapak dan saya terjebak dalam kehidupan ini, Bapak nggak akan pernah bertemu keponakan Bapak lagi."
Hanya itu alasan yang bisa kupikirkan, tapi tampaknya sudah cukup. Pak Gino mencodongkan tubuhnya ke depan dan memegangi kepalanya, seperti pening.
"Tidak baik hidup dalam mimpi."
Aku diam, menunggu efek kata-kataku. Aku tahu yang dimaksud Pak Gino adalah Toni.
"Realita hidup kita, seberapa kelam, seberapa menyakitkan, tetaplah bagian dari diri kita. Dan ketika kita tidak menyukai keadaan, kita berhak mengubahnya. Namun kita harus berjuang keras supaya keadaan kita membaik, bukannya kabur dan malah hidup dalam khayalan," kata Pak Gino lirih. "Anisa harus belajar tentang itu. Dia harus belajar menerima masa lalunya, bukannya meniadakannya."
"Saya tahu, Pak."
"Ini juga berlaku buat kamu, Jen," lanjut Pak Gino tanpa menatapku. "Selama ini kamu selalu uring-uringan tentang hidup kamu—saya mengetahuinya. Kamu sering komplain karena harus menjalani hidup sebagai Jennifer Darmawan. Sama seperti Anisa, kamu juga harus berhenti menyesali kehidupan kamu. Sudah waktunya bagi kalian berdua untuk bersikap dewasa."
Ah. Aku kehilangan kata-kata.
Meski malu mengakuinya, tetapi Pak Gino benar. Tanpa kusadari, sebetulnya aku juga sering berusaha mengubur latar belakangku karena merasa tidak nyaman. Dan sekarang, ketika Toni memberiku kesempatan untuk "bertukar hidup", aku malah keberatan. Aku tidak pernah betul-betul memikirkan ini. Kurasa wajar jika orang sepertiku enggan dengan kehidupan semacam ini, tapi ternyata semuanya tidak sesederhana itu. Hidupku dan Toni tidak sempurna dengan caranya masing-masing. Dan kami harus belajar menerima itu.
"Saya akan mencoba ikhlas..." Aku berkata sungguh-sungguh. Perubahan mendadak ini memang pukulan telak buatku. "Tapi, apa dengan menerima realita hidup, saya bisa memperbaiki keadaan?"
Pak Gino menggeleng sedih.
"Bapak bilang ini hanya semacam realitas alternatif, kan?" Harus ada jalan. Pasti ada jalan. Aku tidak mau terjebak di kehidupan ini, tanpa ada yang ingat padaku! "Sementara Toni hidup di realitas utama—realitas kehidupan kita yang sesungguhnya. Berarti kita cuma perlu kembali ke realitas utama, kan?"
"Tidak segampang itu," tolak Pak Gino. "Realita tersusun atas ruang dan waktu. Realita Anisa dan realita kita punya dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Kalau kita ingin kembali ke realita utama, maka kita—"
Pak Gino berhenti mendadak. Dia menatapku, dan seketika aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia baru saja menyebutkan jawaban atas masalah ini.
Ruang dan waktu.
"Pengendali dimensi!"
Kami mengucapkan itu bersama-sama. Ya ampun, aku yang kemarin pasti nggak akan pernah mengira bakal berdiskusi akrab dengan si monster seperti ini!
"Saya harus mencari Tara, Pak. Dia bisa membantu kita! Tapi..." Masih ada yang belum pas. "Apa Tara Handoko juga ada di realitas ini? Bagaimana dengan para sahabat saya yang lain? Bapak bilang Toni adalah pencipta realitas ini, jadi dia bisa saja menghilangkan orang-orang yang saya kenal supaya hidup saya lebih menderita..."
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)
FantasyBuku terakhir dari trilogi The New Girl. Jen harus berhadapan dengan Antoinette, pengendali langka dengan kekuatan yang mengerikan. Di tengah-tengah usahanya untuk mengatasi Antoinette, Jen mendapat kabar buruk yang mengharuskannya kembali ke New Yo...