Kuluruskan kembali blazer-ku yang sebetulnya sudah licin sempurna. Kuketatkan kembali ikat rambutku yang sedikit melorot. Aku mengembuskan napas dan menoleh ke samping. Bayanganku di kaca jendela tampak tak bercela.
"Jen?"
"Ya, Arini?"
"Kamu kenapa? Kok kayak gugup?"
"Nggak apa-apa," kusunggingkan senyum terbaikku padanya. "Aku nggak gugup, kok."
"Kamu udah melakukan yang terbaik," Arini mengingatkan dengan keibuan. Dia meraih tanganku dan meremasnya. "Ini awal yang baru, kan?"
Arini benar. Ini awal yang baru. Semua nggak akan sama lagi sekarang.
Aku jadi terkenang di hari pertamaku menginjakkan kaki di SMA Cahaya Bangsa. Waktu itu, aku cuma seorang murid pindahan dari New York yang ingin menjalankan kehidupan SMA-nya dengan tenang. Nyatanya, itu tidak terjadi. Aku malah mengalami berbagai macam petualangan sepanjang tiga semester ini.
Dan sekarang semuanya sudah selesai. Apa kehidupanku akan kembali normal seperti semula? Kurasa tidak, aku tetap Jennifer Darmawan, dan aku sudah tidak terlalu muluk-muluk berharap akan menjalani kehidupan yang tenang. Tapi setidaknya normal, seperti anak-anak SMA pada umumnya... itu masih mungkin, kan?
Apa kali ini keinginanku bisa terwujud?
"Aku cemas memikirkan reaksi anak-anak yang lain, Arini."
"Maksud kamu, kamu takut digosipi lagi?"
"Ya." Nggak sepenuhnya benar juga, sih. Aku sudah cukup kebal kalau soal gosip. "Dan soal kekuatan teman-temanku."
"Kita udah sering membahas ini, Jen. Kamu nggak mengambilnya dari mereka. Carl, Tara, Meredith, Reo, dan kakaknya memberikan kekuatan mereka ke kamu," kata Arini panjang lebar. "Itu dua hal yang berbeda."
Aku mengangguk dan memutuskan untuk diam. Sejak insiden di lapangan waktu itu, aku tidak pernah membahas soal kekuatan sedikit pun dengan para sahabatku. Apa yang dirasakan mereka berlima, setelah menjadi non-pengendali?
Aku hanya berharap mereka bisa beradaptasi. Nggak mudah, tentu. Dan aku bersumpah bakal membantu mereka sebisaku. Carl juga. Toh di antara kami berlima, aku dan Carl lah yang paling "berpengalaman" menjadi non-pengendali.
Gedung bangunan SMA Cahaya Bangsa tampak di ujung jalan. Kami sudah dekat.
Di sekolah nanti, aku yakin banyak yang akan bertanya padaku tentang Toni. Pak Prasetyo dan Bu Olena sudah banyak memberiku penjelasan: mereka memberitahuku apa yang terjadi pada Toni setelah aku menolak membunuhnya. Secara teknis, kekuatannya bisa disebut lenyap, tetapi istilah yang lebih tepat adalah "tidak aktif"—dan untungnya tak lagi berbahaya. Ini terbukti dari kondisi Pak Prasetyo yang bisa pulih dengan cepat—pengendalian realitas Toni sudah kehilangan pengaruhnya pada Kepala Sekolah. Tapi Toni masih perlu belajar menerima masa lalunya yang kelam supaya pengendalian realitasnya betul-betul luruh. Pak Prasetyo membantu Toni untuk urusan itu, dan gadis itu sudah bersedia membuka dirinya. Kata Bu Olena, setelah Toni dimurnikan, chi-nya akan memudar sehingga bisa dipastikan dia tak akan bisa mengendalikan lagi.
Ini hal yang rumit, nyaris filosofis. Aku hanya menyimpulkan bahwa mulai sekarang, kami semua harus belajar ikhlas menerima keadaan. Tapi bukan berarti pasrah—kami tetap harus berusaha sebaik-baiknya. Karena kalau kami cuma berpasrah, kami hanya akan jalan di tempat.
Mobilku berbelok dan masuk ke gerbang depan sekolah. Hari ini bukan limusin, dan ini terakhir kalinya aku diantar Arini. Mulai besok, aku sudah bisa menyetir sendiri tanpa perlu sembunyi-sembunyi lagi, karena Mom sudah merestui. Bahkan aku diberi mobil listrik baru!
KAMU SEDANG MEMBACA
THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)
FantasíaBuku terakhir dari trilogi The New Girl. Jen harus berhadapan dengan Antoinette, pengendali langka dengan kekuatan yang mengerikan. Di tengah-tengah usahanya untuk mengatasi Antoinette, Jen mendapat kabar buruk yang mengharuskannya kembali ke New Yo...