32. Heart to Heart

512 204 42
                                    


Kulepas kertas pembungkus bunga yang kubawa, dan kutaruh bunga itu dengan hati-hati. Ada dua ikat bunga lain yang sudah sedikit mengering di sana, dan aku tahu siapa yang meletakkannya. Kuatur semuanya supaya ketiga buket bunga terlihat dengan jelas. Tempat ini butuh hiasan, karena suasananya begitu menyesakkan.

Nah, begini kan lebih baik.

Kutatap batu marmer putih di depanku itu. Sewaktu dalam perjalanan ke sini, ada begitu banyak yang ingin kukatakan, tetapi saat berhadapan seperti ini, aku malah tidak tahu harus memulai dari mana.

Hubunganku dengan orang ini bisa disebut... bittersweet. Pahit di awal, karena aku salah menilainya—dan menjadi lebih baik di saat-saat terakhir sebelum dia pergi. Anak-anak yang lain sepertinya juga baru menyadari ini setelah dia tiada. Kami lebih sering ketakutan padanya daripada menghargainya. Tapi sejujurnya, dia juga tidak membuat dirinya untuk lebih mudah dihargai.

Selama mengenalnya, kami menjulukinya si monster. Sikapnya memang menyebalkan, tapi di balik itu... terdapat seseorang yang kehilangan keluarganya, dengan luka hati yang memilukan. People change when they get hurt, aku pernah membaca kata-kata itu dari salah satu karya novelis favoritku: Kai Elian. Kalau berada dalam posisinya, aku juga akan bereaksi seperti itu. Atau mungkin lebih buruk.

Kutundukkan kepalaku sedikit, sebagai tanda penghormatan. Menghakimi seseorang memang selalu lebih mudah daripada mencoba memahaminya.

Maaf, Pak...

Hatiku pedih mengingat apa yang sudah kami alami di dimensi alternatif. Carl, Tara, Meredith, dan Reo bertanya apakah aku memaafkan Pak Gino karena sikapnya yang tidak terpuji padaku selama dua semester lalu. Kalau aku mengingat itu, tentu saja aku merasa diperlakukan nggak adil. Tapi Pak Gino sudah mencoba "menebusnya" dengan membantuku sewaktu di dimensi alternatif. Aku bisa memaafkannya. Aku nggak akan sanggup melakukannya, seandainya jika tidak mengetahui apa yang sudah dialami oleh guruku itu.

Tapi seperti yang pernah dikatakan Pak Prasetyo, masa lalu tidak bisa diubah, seberapa mengerikannya. Masa lalu adalah bagian dari diri kita, apa yang membentuk kita di masa kini. Aku sudah memikirkan ini: kalau saja Pak Gino tidak menganaktirikanku dua semester lalu, persahabatanku dengan Tara dan Meredith pasti nggak akan sedekat sekarang.

Kalau begitu... terima kasih juga, Pak.

Permintaan maaf dan ucapan terima kasih itu sudah cukup mewakili apa yang ingin kukatakan. Suatu hari nanti, di kehidupan yang lain ketika aku bertemu lagi dengan Pak Gino, aku akan mengungkapkannya dengan lebih pantas.

Aku berpindah ke makam lainnya, yang terletak sekitar sepuluh meter dari makam Pak Gino. Batu nisannya masih sama-sama baru, dan ada lebih banyak bunga. Kutaruh buket bunga terakhir yang kubawa, dan kutata semuanya lagi sehingga nama di batu nisan itu bisa terbaca dengan jelas.

Anne-Marie Effendi

Seandainya saja kondisi Tara duplikat di dimensi alternatif cukup fit, kami bisa kembali ke titik waktu Anne-Marie terbunuh waktu di markas Dewan Pengendali, dan menolongnya. Tapi waktu itu Tara masih amat lemah setelah huru-hara di Bellagio, dia tidak cukup kuat untuk mundur semakin jauh ke masa lalu. Mengucapkannya memang kedengaran gampang saja, tapi apa yang kami lakukan waktu itu betul-betul bisa disebut melawan takdir.

Nah, Anne-Marie...

Aku teringat semua yang sudah dilakukan cewek itu, dan perasaanku kian tergugah. Mungkin kami memulai hubungan kami dengan keliru. Dalam dua kesempatan yang berbeda, sudah jelas bagiku bahwa aku dan Anne-Marie bisa berteman; kami bahkan menjadi mitra yang cukup solid. Setelah menjadi kakak kelas, aku bisa memahami perasaannya waktu itu: kemunculanku di SMA Cahaya Bangsa dua semester lalu pastilah membuatnya merasa tersaingi. Dia adalah queen bee di sekolah, tapi mendadak semua orang membicarakanku. Meskipun Anne-Marie cantik dan dihormati, cewek tujuh belas tahun manapun pasti akan insecure dalam kondisi seperti itu.

THE NEW GIRL 3: OBLIVION (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang