Bab 3
Hari semakin larut dan para penghuni rumah yang masih tinggal, tetap harus tinggal sanpai pemerintah setempat mengozinkan ke luar rumah. Dalam berita yang setiap hari tayang, badai salju mungkin akan berhenti di satu minggu kemudian.
Semua itu tidak masalah bagi gadis introvert seperti Selena. Sekalipun tidak keluar rumah selama satu tahubn, itu tak jadi hambatan asal masih bisa makan. Mengenai kekasihnya, hubungan tetap bisa dilanjut melalui telpon atau, yaa... sesekali bertemu saja.
"Untung aku masih menyimpan camilan di kamar," kata Selena yang tengah bercermin sambil memakai daster tidurnya.
Ia beralih lagi ke arah gantungan baju, kemudian mengambil jaket bulunya yang tebal. Setelah itu ia pakai kaos kaki dan sandal selop supaya tetap terasa hangat.
Terkadang Selena iri melihat gadis seumurannya bisa bebas ke mana pun tanpa malu-malu. Mereka bisa dengan mudah bergaul tanpa memikirkan rasa takut tentang diacuhkan atau diolok.
"Apa aku jelek?" gumam Selena tiba-tiba saat sudah kembali bertengger di depan cermin.
Selena sedikit membungkukkan badan lebih dekat dengan cermin, lalu ia alihkan wajah ke kiri dan ke kanan.
"Apa yang salah dengan diriku?" lanjut Selena. "Apa aku harus tampil seksi? Aku hanya memakai kaca mata, kenapa selalu dibilang cupu?"
Selena coba melepas kaca mata bulatnya. Setelahnya, ia mengangkat wajah hingga terlihat wajah bulatnya yang imut. Sungguh tidak ada yang salah. Wajah bersih tanpa noda, rambut ikal di bawah bahu tanpa poni. Sama sekali tidak ada yang kurang.
"Huh, aku tidak peduli!" sungut Selena dengan helaan napas kemudian membuang muka dari cermin.
Selena melenggak meninggalkan kamar usai mengambil laptopnya di atas meja belajar. Kemudian ia baik ke atas ranjang dan berbarik tengkurap di sana. Mungkin nonton film akan menjadi hal yang menarik malam ini. Beberapa daftar film yang sudah ia urutkan, akan menjadi hiburan sepanjang musim dingin.
Baru saja laptop menyala dan hendak menggulir ke menu folder, tiba-tiba semua gelap. Selena yang panik langsung terduduk dan memeluk bantal dengan erat. Selena menoleh ke samping kanan di mana ada jendela kaca di sana. Sepertinya seluruh komplek padam lampu karena badai.
Harusnya tidak menjadi masalah, tapi tidak dengan Selena yang paling takut dengan kegelapan. Dia yang sudah ketakutan, duduk menyudut pada dinding ranjang sambil menekuk kedua kakinya ke belakang. Kedua tangannya memeluk bantal sementara tubuhnya sudah gemetaran dan mulai berkeringat.
Di luar sana begitu dingin, sementara Selena bisa berkeringat di dalam sini.
"Apa tidak ada lampu cadangan!" teriak Liam dari dalam toilet. "Aku kegelapan di sini."
Liona melintas seraya menyalakan senter yang ada pada ponselnya. "Shit! Berisik kau!" serunya saat itu juga.
"Di mana kau letakkan lenteranya, Tob?" teriak Maria dari arah gudang. Dia terus menyorotkan senter ponselnya menyusuri setiap rak yang ada.
Mereka saling bersahutan, sementara pria gempal yang sedari siang hanya tidur, kini masih duduk santai seolah tidak peduli dengan lampu yang padam.
Tobey turun dari lantai dua sudah membawa dua lentera. Yang satu masih ia genggam, dan satu lagi ia letakkan di atas papan dekat perapian yang masih menyala. Ya, hanya perapian itu yang tetap menyala sementara mereka sudah heboh.
"Kamu mau ke mana?" tanya Liam saat menjumpai Tobey di dapur.
Tobey tidak menjawab melainkan pergi begitu saja lewat pintu belakang.
"Mau ke mana dia?" tanya Liona seraya memancarkan cahaya senter tepat pada resleting celana Liam yang masih terbuka.
"Singkirkan itu!" desis Liam yang kemudian bergegas menarik resletingnya.
Liona mendecit lalu memutar balik badannya. "Aku hanya melindungi bend itu. Jangan salahkan aku jika kau kejepit."
"Sial!" umpat Liam. "Dia memang wanita gila. Pantas saja Tobey tidak mau."
Semua sudah berkumpul lagi di ruang tengah dengan kehangatan perapian yang masih berkobar. Liam duduk paling sudut, Maria dan Liona berjejeran.
"Hei gendut!" Liam melempar bantal sofa tepat mengenai tangan yang sedang memegang ponsel itu.
Roni tidak peduli dan kembali melanjutkan gamenya. Bukan game rumit dan serius, itu hanya Candy Crush yang bisa dimainkan sementara jaringan tidak ada.
"Ke mana Tobey?" tanya Maria.
Liam angkat bahu, sementara Liona acuh. Sejujurnya Liam tahu ke mana Tobey pergi, pasti menemui gadis cupu itu. Meski Tobey terlihat acuh dan jail padanya gadis itu, Liam yakin ada yang spesial di antara merena. Mereka memang sudan hidup bertetangga sejak lima tahun yang lalu, dan dengar-dengar keluarga Selena yang selalu memberikan perhatian pada Tobey.
Dan kini Tobey sudah masuk ke dalam rumah Selena. Untungnya Selena tidak mengunci pintu belakang, jadi memudahkan Tobey untuk masuk. Tobey lantas menutup pintu kembali dan berjalan masuk lebih ke dalam.
Sampai di depan anak tangga menuju ke atas, Tobey mulai memanggil nama pemilik rumah. "Selena."
Selena yang masih memeluk kedua lutut di sudut ranjang, mendongak. Ia celingungan dalam kegelapan. Tidak ada yang bisa ia lihat saat ini selain samar-samar benda yang terpancar dari layar laptopnya yang sebisa mungkin tetap ia nyalakan.
"Selena!" Panggilan itu terdengar lagi. Antara takut dan lega, Selena rasakan saat ini.
Seluruh kompleks atau bahkan kota padam. Dan kemungkinan tidak ada siapa pun di luar karena jalanan tutup. Lalu, suara siapa yang memanggil nama Selena.
"Selena!"
Suara itu semakin mendekat dan derap langkah kaki terdengar jelas. Selena benar-benar merinding ketakutan dan ketakutan bertambah saat layar laptopnya padam. Seketika Selena menjerit dan memelungkup wajah dengan kedua tangan. Ia sudah menangis sesenggukan.
"Selena! Kamu di mana?" Tobey mempercepat langkahnya hingga sampai di depan pintu kamar yang masih tertutup.
"Selena, kamu di dalam?" panggil Tobey seraya mengetuk pintu.
Selena mendengar suara itu dengan jelas. Suaranya tidaklah asing.
"Tobey? Kamu kah itu?" suara Selena dari dalam.
Dengan cepat Tobey membuka pintu kamar tersebut. Begitu masuk, Tobey menyebut nama Selena dan mengangkat lentera yang ia bawa lebih tinggi lagi hingga sosok Selena terlihat.
"Astaga!" Tobey berlari mendekat lalu meletakkan lentera di atas nakas. "Kamu baik-baik saja?" Tobey meraih tubuh Selena dan memeluknya.
Selena masih menangis dalam pelukan Tobey. "Aku takut."
Ini seperti bukan Tobey yang biasanya. Menyentuh lembut, memeluk, tentu bukan sikap kebiasaan Tobey pada Selena. Apa yang terjadi?
"Kamu ke rumahku saja," kata Tobey.
Dengan cepat Selena melepaskan diri lalu mengusap wajahnya yang basah. "Tidak mau. Dan ... maaf untuk yang barusan. Aku tidak sengaja. Sebaiknya kamu ke luar."
Selena kembali menyudut dan memeluk kedua lututnya. Sikap Tobey membuat Selena takut. Selena hampir setiap hari mendapat cemoohan dan ledekkan yang bisa dikatakan keterlaluan dari Tobey.
"Kamu pergi," pinta Selena lirih.
"Ikut atau kamu habis dimanan hantu!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My First Kiss (TAMAT)
RomanceHampir setiap akhir tahun, Selena selalu menghabiskan waktunya di rumah. Dia tidak terlalu peduli pada orang-orang karena menurutnya mereka hanya bisa mengolok-olok dirinya. Sampai suatu ketika, Selena harus menghadapi akhir tahun di rumah seorang...