Lima
Selena tidak menyangka kalau di penghujung tahun bisa sesial ini. Lampu padam dan sial lagi dia berada di rumah orang paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Tobey, tetangga tengil yang selalu cari perhatian pada kedua orang tua Selena. Jujur saja, terkadang Selena heran kenapa Kedua orang tuanya bisa begitu suka dengan Tobey. Padahal mereka tahu kalau Tobey sering kali membuat putrinya kesal.
"Kalau tahu aku akan berakhir di sini, lebih baik aku ikut ayah dan ibu saja," celoteh Selena masih sambil memeluk kedua lututnya. "Setidaknya di sana jauh lebih baik dari pada di sini."
Selena meraih meraba bantal lain dan hendak ia gunakan untuk rebahan. Lentera yang Tobey tinggal, setidaknya tidak terlalu membuat Selena ketakutan.
"Astaga!" pekik Selena tiba-tiba. Satu tangannya spontan mendarat di antara kedua pahanya. "Aku kebelet," katanya kemudian.
Rasa kebelet buang air kecil semakin terasa, membuat Selena mendadak panik sendiri. Ia coba merangkak turun masih dengan coba menahan dengan tangan apa itu yang sudah mendorong ingin segera ke luar.
"Uh, aku harus bagaimana ini?" desah Selena sambil merengut wajah. Sungguh rasanya sudah tidak tahan.
Satu tangan masih betah diantara selakangannya, satu tangan lagi meraih lentera. Badanya yang sudah membungkuk dan meliuk, kini coba memantau seluruh ruangan. Tidak ada kamar mandi di sini. Sudah pasti kamar mandi ada di lantai dasar.
"Persetan dengan mereka!" sungut Selena. "Aku sudah tidak tahan."
Selena menjengkeram gagang lentera dengan kuat, lalu melangkah cepat menuju lantai bawah. Dia menuruni anak tangga masih sambil merengut dan menahan sesuatu yang tak tertahankan.
Sampai di lantai dasar--tepatnya di ujung tangga--Selena coba berdiri tegak. Ia berdehem hingga empat orang yang masih duduk di sofa menikmati pesta kecil, menoleh. Ada ungkapan aneh di dalam hati masing-masing.
"Ada apa?" tanya Tobey acuh.
Selena tetap coba berdiri tegak seolah tidak terjadi apa-apa. "Di mana toiletnya?" tanyanya.
Meski suasana remang-remang, Selena bisa tahu seperti apa tatapan mereka. Terutama dua wanita yang duduk dekat Tobey.
"Di belakang sana," tunjuk Tobey.
Selena langsung menoleh. "Terimakasih," sahutnya singkat.
Sampai di toilet, Selena meletakkan lentera di lantai sementara ia duduk pada closet dsn melepas apa yang sedari ia tahan. Fiuh! Rasanya begitu lega dan Selena langsung menghela napas.
"Aku kebelakang sebentar. Ada yang harus kuambil." Liona bangkit.
Tidak ada yang curiga saat mendadak Liona pergi ke belakang. Dia ke sana hanya mengandalkan penerangan dari senter pada ponselnya.
Liona berhenti di depan pintu toilet. Dia melipat kedua tangan di depan dada menunggu orang di dalam sana muncul.
"Kamu?" pekik Selena seketika itu.
"Halo, cupu." Liona mencibir seraya menaikkan satu ujung bibirnya.
"Ngapain kamu?" tanya Selena. Ia bergeser saat Liona hendak meraih ujung rambutnya.
"Kamu sengaja merayu Tobey, kan?" tanya Liona. "Kamu sengaja datang ke sini karena mau mendekati Tobey."
Selena mengerutkan dahi karena kurang paham dengan perkataan Liona. Tepatnya tidak mengerti sama sekali.
"Kamu harus sadar diri!" Kalimat itu menyembur wajah Selena. Satu jari telunjuk juga mendarat di dada kirinya. "Tobey tidak akan tertarik padamu," lanjut Liona.
"Aku tidak paham apa maksud kamu." Selena menyingkirkan tangan Liona. "Kalau kamu suka Tobey, ya silakan. Kenapa harus berkata begitu padaku?"
Liona menyeringa lantas menyorot wajah Selena sengan senter ponselnya, membuat Selena menutup mata dan membuang wajah ke samping.
"Wanita bodoh, pacarmu selingkuh saja kamu sampai tidak tahu. Cih!"
Selena mendongak di saat sorot senter itu sudah menyingkir. Selena kemudian menghentikan langkah Liona. "Apa maksud kamu?"
Dengan angkuhnya, Liona menepis tangan Selena lalu angkat bahu. "Kamu pikir saja sendiri."
Selena tidak mau terlalu menanggapi serius apa yang Liona katakan. Dia hanya tidak mau mendapat masalah seperti yang ia alami di kampus. Seberat apa pun kejadian olokan di kampus, asal tidak sampai di sekitar rumah, itu sudah cukup.
"Minggir," kata Selena. "Aku tidak ada urusan sama kamu."
Liona hanya mendecit saat Selena berjalan menyerempet tubuhnya. "Awas saja kalau kamu berani menggoda Tobey. Mati kamu!"
Setelah buang air, Selena merasakan perutnya kosong. Ia mendadak merasa lapar. Di saat melihat beberapa makanan di atas meja--hasil jarah--Selena menelan ludah. Ia juga begitu haus.
"Ngapain lagi kamu?" tanya Tobey ketus.
"Dia lapar mungkin," timpal Liam.
Tobey menoleh ke arah meja yang berserakan lalu kembali menoleh ke arah Selena. "Kalau mau, duduk."
"Aku tidak lapar," acuh Selena dan memilih langsung kembali ke lantai dua.
Dari arah dalam, perlahan terdengar tepukan tangan dengan ritme lampat. Liona muncul dengan senyum tipis, tali tatapan sengit.
"Sepertinya kamu sangat penuli dengan wanita itu," cibirnya.
Tobey tidak merespon, ia sibuk mengupas kacang lalu memakannya. Setelah Liona ikut duduk, Tobey malah beranjak.
"Kamu mau ke mana?" cegah Lion dengan menarik lengan Tobey.
"Toilet."
"Oh."
Tobey tidak benar-benar pergi ke toilet. Dia hanya menepi ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa di makan. Dengan sorot lampu dari ponsel yang ia bawa, Tobey membuka lemari dan beruntung ada sebungkus roti di sana.
Tobey mengambil roti tersebut dan membawanya ke luar, tidak lupa satu minuman kaleng. Sampai di jalan pembatas dapur dan ruang tengah, Tobey mematikan lampu ponselnya dan menyelusupkan ke dalam saku celana. Dalam kondisi gelap, diam-diam Tobey berjalan ke luar. Bukan kembali bergabung dengan yang lain, melainkan menuju lantai atas.
Ceklek!
Bunyu gagang pintu, membuat Selena menoleh. Ia meraih cepat lentera yang tergeletak di meja samping ranjang, lalu mengangkat ke arah depat hingga sosok yang berdiri di ambang pintu terlihat.
"To-Tobey? Apa yang kamu lakukan?" Selena tergagap.
Dengan santainya Tobey melenggak masuk, membuat Selena menelan ludah dan mulai meringsut.
"Kamu mau apa?" tanya Selena lagi. Ia masih menyorotkan lampu lentera ke arah Tobey.
Tobey tetap maju lalu melempar roti dan minuman yang ia bawa ke atas ranjang. Selene yang kaget langsung menjerit hingga lentera yang ia genggam jatuh. Beruntung tidak jatuh ke lantai, karena bisa jadi penghuni bawah akan mendengarnya.
"Apa ini?" tanya Selena heran.
"Menurutmu apa?" cibir Tobey. Ia meraih kursi, lalu duduk menghadap sandarannya. "Kamu lapar kan?"
Selena tertegun saat dua tangannya meraih sebungkus roti dan minuman kaleng itu. Ia merasa heran kenapa Tobey mendadak perhatian. Dia akan acuh saat di hadapan teman-temannya, tapi kenapa saat hanya berdua dia begitu lembut?
"Makanlah, biar tidak mati!"
Oke, aku tarik kembali ucapanku. Selena mengeraskan rahang hingga tidak terasa tangannya sudah meremas roti yang masih tebungkus itu.
"Makan! Kenapa jadi menatapku begitu?" cibir Tobey lagi.
Selena mendengkus. Ia sedikit gengsi, tapi membiarkan perutnya kelaparan itu juga buruk. Selena akhirnya memakan roti itu dengan lahal dan rasa jengkel. Selena tidak tahu kalau Tobey sedang memperhatikannya dengan senyum tipis.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My First Kiss (TAMAT)
RomansaHampir setiap akhir tahun, Selena selalu menghabiskan waktunya di rumah. Dia tidak terlalu peduli pada orang-orang karena menurutnya mereka hanya bisa mengolok-olok dirinya. Sampai suatu ketika, Selena harus menghadapi akhir tahun di rumah seorang...