Suasana sangat canggung saat ini. Taeil bahkan tidak tau kalau Johnny akan mendatanginya ke kampus. Dan sekarang mereka sedang berada di sebuah restoran daging kesukaan Taeil. Sedari tadi pemuda manis ini terus menundukkan kepalanya. Dibiarkannya Johnny yang sedang memanggang daging di depannya.
"Makanlah." Johnny mengambilkan beberapa potong daging yang sudah matang itu pada piring Taeil.
Yang lebih muda masih bergeming di tempatnya. Bukan maksud Taeil untuk mengabaikan, tapi saat ini suasana hatinya sangat tidak menentu. Taeil merasa-- senang? Tentu. Gelisah? Sudah pasti. Gugup? Jangan ditanya. Intinya campur-aduk. Ia sendiri tidak mengerti. Yang dilakukannya hanyalah meremas bawah kaos yang dikenakannya.
Taeil tidak menyangka kalau Johnny masih tetap bersikap baik dan ramah terhadapnya, mengingat sikapnya yang cukup menyebalkan pada malam dimana mereka jalan-jalan. Taeil jadi malu sendiri dengan sikapnya sekarang.
Hanya ada satu pertanyaannya. Apa Taeil mau terus seperti ini? Mengabaikan perasaannya dan membodohi diri sendiri. Disaat di depannya saat ini sudah tampak seseorang yang terlihat sangat tulus.
Ia merasa sangat denial sekarang. Sudah jelas-jelas ketika Taeil menatap mata tajam itu, ia bisa melihat hanya ada ketulusan. Itu artinya, Johnny jujur dengan perkataan dan perasaannya. Tapi, karena otak Taeil berhenti sedetik, kata-kata yang keluar dari mulutnya malah membuat suasana menjadi kacau. Ditambah sikap Taeil yang tidak sopan.
Sekarang bagaimana? Taeil sudah tidak bisa kabur lagi.
"Taeil-ah,"
Panggilan itu menyadarkan Taeil dari berbagai macam pikiran yang mengganggunya. Astaga, kenapa juga dia lupa kalau ia ke sini bersama Johnny?
Taeil menatap Johnny di depannya. "Maaf, hyung."
Tanpa kata lagi, Taeil langsung memakan makanannya dalam diam.
Sementara Johnny tak lepas menatap pemuda manis itu. Sedikitnya, ia bersyukur Taeil tidak menolak ajakannya dan mau ikut bersamanya. Tapi, jika mengingat pemuda itu yang masih belum bisa sepenuhnya menerima Johnny, ada sedikit rasa sakit di hatinya. Johnny benar-benar takut ditolak.
"Makanlah yang banyak. Kalau kau mau tambah, katakan saja padaku. Kau bisa pesan sepuasmu apapun yang kau mau."
Anggukan kecil dari Taeil membuat sudut bibir Johnny tertarik ke atas membentuk senyuman tipis.
Pada akhirnya tak banyak percakapan selama mereka makan. Kebanyakan memang Johnny yang berbicara, sedangkan Taeil, jika tidak mengangguk ya menggelengkan kepalanya. Lucu memang kalau di mata Johnny, tapi suasananya kurang pas. Johnny sangat gatal ingin mengusak rambut halus itu, tapi ia tidak mau merusak suasana menjadi canggung kembali.
Taeil tidak tau ke mana Johnny membawanya kali ini. Ia sedikit khawatir karena sebentar lagi adalah jam kerjanya di café.
"Eum.. hyung? Kau mau membawaku ke mana? Aku harus segera ke café. Sebentar lagi jam kerjaku."
"Hari ini kau absen bekerja dulu. Aku ingin membawamu ke sebuah tempat yang aku yakin kau akan suka." Johnny menoleh sebentar pada kursi di sebelahnya dan tersenyum.
"Tapi, hyung--"
"Kau tidak perlu khawatir. Kalau kau dipecat, aku yang tanggung jawab."
Taeil membulatkan matanya mendengar perkataan Taeil. "Hyung!"
"Ahahaha~ tenang saja, Taeil-ah~"
Candaan Johnny membuat Taeil cemberut. Tapi, dalam hatinya merasa hangat. Begitupun Johnny, ia lega karena Taeil tidak tersinggung dengannya, walau pemuda itu harus kesal padanya. Tapi itu lebih baik dibanding Taeil yang pendiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 Days
FanfictionTaeil tidak akan pernah menyangka, kalau dia akan langsung dilamar oleh seorang pria asal Chicago, yang bahkan baru ia kenal selama 7 hari. "Menikahlah denganku, Moon Taeil." --dan apakah Taeil bisa menolak? Eh, salah. Yang benar, apakah Taeil akan...