9/. PANGGILAN ORANG TUA

11.3K 1.6K 60
                                    

Nyaman adalah kata yang dapat mendeskripsikan bentuk rasa yang Naura rasakan saat bersama Angkasa, duduk berdua di atas motor seperti ini membuat Naura benar-benar merasa tenang saat berada di dekat Angkasa meskipun Angkasa terkesan dingin padanya.
Bahkan saat bersama Jeandra, Naura tidak pernah merasakan senyaman saat dirinya bersama Angkasa.

Mereka berdua berhenti di salah satu sekolah dasar, sekolah yang ternyata milik keluarga Naura.

Angkasa memarkirkan motornya di parkiran motor, setelah berhasil memarkirkan motor Angkasa terlihat begitu terburu-buru sehingga harus kembali menggenggam tangan Naura seerat mungkin agar Naura tidak tertinggal.

Naura terus mengikuti langkah Angkasa dan mereka berdua berakhir di depan pintu yang bertuliskan kantor guru yang berada tepat di atas pintu ruangan itu. Dari luar Naura dapat melihat seorang wanita yang sudah berumur marah-marah pada seorang guru wanita.

"Kamu? Kamu si anak yatim piatu itu, berani-beraninya kamu buat anak saya mimisan?" Ibu itu berbicara dengan nada membentak sambil menggoyangkan tubuh anak kecil yang ia sebut anak yatim piatu.

Pandangan semua mata guru-guru melihat ke arah Angkasa dan Naura yang berdiri di luar kantor guru. Tanpa mengetuk pintu apalagi permisi Angkasa langsung masuk ke kantor.

Para guru terkejut saat melihat kedatangan anak pemilik sekolah ini, sekolah yang dibangun dan berdiri di atas tanah keluarga Sanjaya. Naura dengan tenang memberikan isyarat pada para guru agar tidak terlalu berlebihan karena biasanya jika Naura melakukan kunjungan bersama sang ayah para guru akan sibuk melakukan ini dan itu hanya agar Naura merasa nyaman.

Angkasa menggenggam pelan pergelangan tangan wanita dewasa yang mencengkeram lengan anak kecil itu, sehingga wanita tua itu melepaskan cengkeramannya.

Anak kecil yang ketakutan itu langsung berlari bersembunyi di belakang Angkasa, membuat laki-laki itu menoleh sejenak ke belakang. "Tolong jangan kasar! Dia masih kecil!" Angkasa memohon dengan sopan karena lawan bicaranya saat ini merupakan orang tua.

"Kamu siapa?" Tanya wanita dewasa itu tidak santai karena tersulut emosi.

"Maaf, Ibu. Ini Mas Angkasa, wali dari ananda Jidan."

"Oh kamu kakak anak ini?" Tanyanya masih terdengar tidak santai.

"Kamu liat itu! Hidung anak saya berdarah, adik kamu sudah buat anak saya mimisan. Saya tidak terima," ujarnya sambil menunjuk beberapa lembar tisu yang ternodai oleh darah yang ada dalam tempat sampah.

"Adik Angkasa? Anak kecil itu?" Batin Naura.

"Jidan? Jadi Jidan itu adiknya Angkasa?"

Berulangkali guru-guru menenangkan ibu dari Iqbale tetapi tetap saja wanita paruh baya itu tidak terima. "Saya nggak terima dan saya minta ganti rugi!"

Angkasa menghela nafasnya pelan kemudian berbalik menatap Jidan yang masih bersembunyi di balik tubuhnya. Angkasa bersimpuh di hadapan Jidan." Jidan, gak apa-apa?" Angkasa bertanya dengan nada lembut dan menenangkan.

Tangis Jidan pecah. "J-jidan, nggak salah."

"Ale tumpahin bekal yang Bang Asa buatin buat Jidan, terus Ale duluan yang dorong Jidan."

Jidan menunduk tak berani menatap Angkasa. "M-maafin Jidan ya, Bang!"

Angkasa menggeleng pelan. "Jangan minta maaf kalau Jidan nggak ngelakuin kesalahan!"

"Abang gak marah," timpal Angkasa.

Wanita itu berdecak. "Pantesan adiknya begitu, berani mukul anak orang ternyata kakaknya ngajarin yang gak bener," sindirnya.

Angkasa dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang