11. Meet Her

111 17 1
                                    

Mitsuya melangkahkan kakinya masuk ke rumah sakit besar di Kanada, indera penciumannya langsung menangkap bau obat yang menyengat, matanya menatap ke arah sekelilingnya yang serba putih, semua orang berlalu-lalang pergi kesana kemari dengan kesibukannya masing-masing.

Ia menghembuskan napasnya pelan, kakinya melangkah dan membawanya mendekati resepsionis yang terlihat sibuk dengan telfon dan komputer disana.

Penantiannya setelah enam bulan dapat terkabulkan hari ini, ia benar-benar ingin bertemu sosok Aiya yang sudah ia rindukan selama ini.

Resepsionis menatap Mitsuya yang berdiri terdiam, lalu bertanya pada Mitsuya keperluan apa yang Mitsuya inginkan.

"Saya ingin mengunjungi pasien atas nama Mitsuya Aiya." Ujar Mitsuya dengan suara pelan.

Resepsionis mengangguk pelan, "Baik, mohon ditunggu." Ujar resepsionis tersebut sembari mengetikkan sesuatu di keyboard komputernya.

Resepsionis yang tadi tengah mencari data Aiya, kini menatap Mitsuya dengan tidak enak dan segera memencet beberapa nomer pada telfon di sampingnya lalu menghubungi seseorang di seberang sana.

Telfon yang digenggam oleh resepsionis itu masih menempel di telinganya, matanya beralih menatap Mitsuya dengan tatapan tanya. "Maaf, tolong sebutkan nama anda dan hubungan anda dengan pasien." Ucap resepsionis tersebut dengan sedikit ragu.

Mitsuya mengangguk pelan karena paham bahwa Aiya tidak dapat dikunjungi oleh sembarang orang. "Saya Mitsuya Takashi, pacar dari pasien." Ujar Mitsuya, lelaki berambut perak ini berujar tanpa ragu sama sekali dan tatapannya begitu kosong namun terlihat sendu.

Resepsionis sedikit melebarkan matanya saat mendengar ucapan Mitsuya, kemudian ia mengangguk dan memberitahukan kepada seseorang yang ada di sebrang sana.

"Baik, anda boleh mengunjungi pasien. Pasien atas nama Mitsuya Aiya berada di lantai dua ruang ICU nomor ruangan tiga." Ujar resepsionis dengan tersenyum simpul.

Mitsuya mengangguk pelan dan segera melangkahkan kakinya pergi ke lift rumah sakit menuju ke lantai tiga.

Ia mulai merasakan kegelisahan yang hebat, dadanya sedikit berdebar entah karena lama tidak bertemu dengan Aiya atau karena ia belum sanggup untuk melihat Aiya yang terbaring di tempat tidur rumah sakitnya.

Jemari tangannya bergerak dengan sedikit gemetar, suasana dingin terasa begitu menusuk ke tubuhnya.

Lift berdenting dengan pintu terbuka, menandakan bahwa ia sudah sampai pada lantai tiga yang menjadi tujuannya tadi.

Ia membawa kakinya untuk melangkah ke lorong sepi rumah sakit, matanya melihat setiap nomir kamar yang ia lewati.

Kakinya dengan refleks berhenti melangkah saat matanya menangkap nomor ruangan yang ia tuju, pandangannya beralih pada kenop pintu ruangan nomor tiga itu.

Ia menghembuskan napasnya sebentar sembari menatap pada pintu ruangan yang tertutup di hadapannya saat ini, ia masih mempersiapkan dirinya yang merasa gugup untuk membuka pintu tersebut.

Akhirnya setelah ia meyakinkan dirinya, tangannya meraih kenop pintu yang ada di hadapannya dan segera masuk ke dalam ruangan yang sangat amat sepi nan sunyi.

Tatapannya langsung tertuju pada tempat tidur rumah sakit, yang dimana Aiya tertidur diatasnya dengan beberapa alat rumah sakit yang menempel pada tubuh perempuan itu.

Mitsuya sempat menahan napasnya sejenak saat melihat kembali sosok Aiya yang terlihat damai dan lebih dewasa, ia melangkahkan kakainya untuk mendekat ke arah kekasihnya.

Tangannya terulur dengan ragu, menyentuh jemari Aiya yang terasa begitu dingin nan kurus.

Mitsuya menjatuhkan dirinya ke lantai dengan tangan yang menggenggam tangan Aiya, tubuhnya terasa lemas sehingga ia sendiri tak dapat menopangnya. Ia terisak pelan karena melihat tubuh tak berdaya perempuannya.

Betapa kurusnya Aiya membuat otaknya memutar kembali ingatan-ingatan tentang bagaimana perempuan itu berbicara, tertawa dan caranya memanggil nama Mitsuya.

Ia segera menggeleng pelan, matanya kembali menatap Aiya yang masih tertidur damai seolah perempuan itu sama sekali tidak merindukannya.

"Aya, apakah kau tidak merindukanku? Ada banyak sekali hal yang sudah kau lewatkan, untuk menceritakannya saja tak cukup satu hari." Ucap Mitsuya dengan suara pelan nan sendu.

Namun Aiya masih bergeming, sama sekali tidak memberikan respon apapun kepada Mitsuya. "Bukankah tidurmu sudah terlalu lama?" Lanjut Mitsuya, tangannya beralih untuk mengelus kepala Aiya.

Mitsuya menghela napas sejenak, air matanya terus mengalir dengan perlahan padahal sudah ia seka beberapa kali. "Kembalilah." Ucap Mitsuya dengan sorot mata sendu.

"Aku ingin melihat lukisan mu lagi, melihat mu membuat sketsa desain dengan detail, melihat mu bekerja dan masuk ke Universitas Tokyo yang menjadi impian mu. Kau sudah melewatkan natal bersama, setidaknya, marilah kita menikmati natal bersama sebagai sepasang kekasih tahun ini. Aku akan selalu menunggu mu." Lanjut Mitsuya.

Tangannya kembali menyeka air matanya yang jatuh ke pipinya, "Ibu, maafkan aku karena melanggar janjiku untuk tidak menangis. Aku begitu takut, aku tidak kuat menahannya sendiri." Ungkap Mitsuya, wajahnya menunduk karena ia tidak ingin memperlihatkannya pada Aiya yang bahkan sedari tadi tetap bergeming.

"Untuk kali ini, biarkan aku menangis sedalam ini." Lanjutnya, tangannya masih erat menggenggam tangan Aiya yang begitu lemah dan kurus.

Isak tangis Mitsuya kembali terdengar dengan pelan, begitu lirih dan menyakitkan.

"Mungkin, aku belum pernah menyatakan ini padamu secara langsung. Tapi, aku sangat mencintaimu, Mitsuya Aiya." Ujar Mitsuya di tengah isakannya, suaranya terdengar sangat pelan dan serak akibat menangis.

Mitsuya sudah merasa sedikit lebih tenang, ia kembali menatap Aiya yang hanya tertidur damai. Ia bangkit dari posisi duduknya masih dengan tangan yang menggenggam tangan Aiya dengan erat, tubuhnya ia majukan sehingga ia dapat mengecup kening Aiya.

Kecupan pada kening Aiya ia berikan begitu lama, seplah ia telah mengungkapkan semua yang seharusnya ia ungkapkan sejak dulu. Kecupan di kening itu terasa sebagai penyampaian segala perasaan yang ia rasa selama ini.

Mitsuya melepaskan kecupan tersebut, tangannya yang menggenggam Aiya pun ia lepaskan dengan perlahan.

Lalu tangan kirinya mengambil sesuatu pada saku jaketnya, yakni segenggam tangkai bunga baby breath berwarna putih yang kemudian ditaruh dalam vas bunga yang sudah terisi oleh bunga calla lily dengan warna senada.

Ia meninggalkan sebuah kertas note kecil yang ditaruh meja tempat vas bunga berada.

"Aku akan sering mengunjungimu mulai saat ini. Sembuhlah, karena banyak hal yang harus aku ceritakan padamu. Mari kita bercerita, berdua saja menghabiskan waktu bersama sampai lupa akan waktu. Aku akan selalu menunggumu, aku pamit, Aya-chan." Ungkap Mitsuya sebelum melangkahkan kakinya keluar ruangan Aiya.

Dengan berat hati, ia harus pergi dari ruangan perempuan itu. Kalau bisa, ia ingin benar-benar berada di samping Aiya setiap hari dan setiap waktu agar ia dapat mengetahui segala perkembangan Aiya.

Namun, ia tak dapat melakukan hal egois seperti itu, karena tujuannya ke Kanada pun bukan untuk tinggal di negara ini dan merawat Aiya, tetapi ia memiliki tujuan lain yang juga sudah memberinya kesempatan untuk bertemu dengan Aiya.

Captain to be continue...

Captain | 𝐌𝐢𝐭𝐬𝐮𝐲𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐚𝐬𝐡𝐢 ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang