08. Rambu Lalu Lintas

18 3 0
                                    

Pagi ini mobil Agas sudah bertengger di depan pagar rumah Kaisyah, ia semalam tiba-tiba mendapatkan pesan masuk dari Kai yang mengatakan bahwa gadis itu membutuhkan tebengan untuk berangkat ke kampus pagi ini. Agas dengan senang hati dan tanpa merasa direpotkan langsung mengiyakan dan menjemput mantan pacaranya itu tanpa rasa ragu.

Pada bunyi klakson yang kedua kalinya ia bunyikan, pintu jati dengan ukiran itu terbuka. Sayangnya yang muncul bukanlah sosok cantik berambut panjang yang ia tunggu-tunggu, melainkan pria paruh baya yang memakai sarung bermotif kotak-kotak khas orang baru pulang dari masjid. Agas langsung tergerak untuk keluar dari mobilnya dan menghampiri Ayah Kai, pria itu tersenyum ramah pada Agas dan menyambut uluran tangan pemuda yang hendak menyalaminya itu.

Selama berpacaran dan berteman dengan Kaisyah, Agas memang sudah berhasil akrab dan mengenal seluruh anggota keluarga inti gadis itu, ia sudah teramat sering berbincang-bincang dengan orangtua Kai juga kedua adik kembar laki-laki Kai yang baru berusia sebelas tahun. "Agas ternyata, Om kira siapa," Ayah Kaisyah terkekeh, ia melipat koran yang tengah dipegangnya, mengurungkan niatnya untuk membaca lembaran yang makin hari makin membosankan isinya.

"Masuk, Gas, tunggu di dalem aja, udah sarapan?" Ayah gadis itu membukakan pagar, mempersilahkan Agas untuk masuk. Tetapi pemuda berkemeja itu menggeleng pelan dengan cengiran lebarnya. "Di sini aja, Om, gak pa-pa. Saya udah sarapan juga,"

Kedua pria dengan jarak umur dua puluhan tahun itu terus berbincang, hingga sampailah mereka pada topik yang membuat Agas jadi serba salah—bingung harus menjawab apa. Ia hanya memberikan senyum tak enaknya mendengar pernyataan dari Ayah Kaisyah. "Saya kadang suka lupa, kalo kamu sudah putus dengan Kai."

Agas menggaruk tengkuknya yang tak gatal, respons wajib bagi semua orang yang tengah kebingungan dan merasa tak enak hati. Untungnya bertepatan dengan itu, suara halus dari gadis cantik yang aroma parfumnya semerbak memenuhi indera penciuman pun datang. "Papa, jangan mulai deh," tegurnya.

Pria paruh baya yang dipanggilnya dengan sebutan Papa itu malah terbahak, "Papa loh udah klop sama Agas, malah batal jadi mantu, gimana kamu tuh, Kai?"

Jika Kaisyah sontak melototi Ayahnya sembari memukul lengannya pelan, yang Agas bisa lakukan hanyalah tersenyum malu—bingung harus bagaimana. Dorongan Kaisyah pada punggungnya setidaknya membuatnya merasa terselamatkan, "Ayo, buruan, langsung berangkat aja, Papa nih makin ngawur omongannya."

"Om, kalo gitu saya sama Kai pamit, ya." Sebelum benar-benar pergi, Agas menyempatkan diri untuk mencium tangan Ayah mantan pacarnya diikuti oleh Kaisyah yang menggerutu sebal karena terus-terusan dibercandai oleh Ayahnya, bahkan ia mengomel karena rambutnya diacak-acak.

"Om titip Kai, ya, Gas. Marahin aja kalo nakal, atau kalo dia bawel turunin aja di pinggir jalan." Seru Ayah gadis itu, bercanda.

Di perjalanan, Kaisyah juga tak berhenti mengoceh, ia membicarakan banyak hal dan nendapatkan respons tak kalah baik dari Agas yang memang tidak pernah mengabaikan hal-hal sesederhana dan sekecil apapun. Gadis itu berbicara dengan diulang-ulang sebab fokusnya terbagi antara Agas, jalanan macet dan ponselnya.

"Udah sarapan belum?" Tanya Agas ketika laju mobil berhenti sebab rambu lalu lintas menampilkan warna merah.

"Udah, tapi kan aku tadi tuh gak terlalu banyak gitu loh, makan roti tawar, sama susu coklat tapi susunya udah mau habis, kayak tinggal tetes-tetes terakhir." Agas terkekeh mendengar kalimat ambur adul yang tercetus dari bibir tipis merah muda Kaisyah.

"Coba fokus selesaiin dulu aja urusannya yang di hape." Yang laki-laki kemudian kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, alih-alih mempercepat laju mobilnya menuju kampus, ia malah mampir ke antrian drive thru restoran junk food yang sudah buka.

Walking in You || Park Jisung [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang