First

8.5K 458 25
                                    

"Mbak Andin udah sampee.." seru Kiki ketika melihat Andin menginjakan kakinya di ruang tamu. Di sebelahnya berdiri sang calon suami, Aldebaran. Di belakangnya ada Uya yang membawakan dua buah koper dan Boim membawa troli yang di atasnya terdapat satu kardus besar berisi peralatan lukis milik Andin.

Andin adalah seorang pelukis terkenal yang beberapa karyanya sudah sampai ke mancanegara. Kebetulan Andin akan segera menikah dengan Aldebaran, seorang pemilik perusahaan konglomerat internasional.

"Iya, Ki," Andin tersenyum dengan ramah.

"Kopernya Andin tolong di bawa ke kamar tamu yang ada di sebelah kamar saya ya Ki," perintah Al pada Kiki.

"Ahakhakhak sebelahan biar bisa mampir ya mas Al," Kiki tertawa menggoda majikannya. Melihat majikannya melotot, Kiki kembali diam dan menunduk sedikit sambil tetap menahan senyumnya.

"Terus peralatan lukisnya taruh di studio yang sudah di siapkan ya," lanjut Al. Andin yang memilih sendiri di mana studionya akan dibuat, Andin memilih dibuatkan ruangan dengan kaca besar di belakang rumah. Menurut Andin itu akan membuatnya melukis dengan rilex sambil memandang alam dan binatang-binatang kecil beterbangan.

"Iya mas Al," Kiki mengambil alih dua koper Andin dari genggaman Uya, setelah itu Uya dan Boim pamit kembali ke depan untuk menjaga gerbang.

Al menarik tangan Andin yang sedari tadi ia genggam ke halaman belakang rumahnya, ke studio Andin. Studio yang belum sempat Andin lihat sejak pembuatannya.

Studio itu tidak semuanya terdiri dari dinding kaca, dinding kaca hanya dibuat pada sisi yang menghadap ke halaman. Tadinya itu adalah sebuah kamar kosong yang bagian belakangnya kemudian Al hancurkan untuk diganti dengan dinding kaca, jadi studionya masih tetap berada di dalam rumah. Ada dua pintu masuk ke studio, pertama pintu dari dalam rumah yang merupakan pintu kayu kokoh khas rumah Aldebaran dan satu pintu lagi adalah pintu kaca geser dari halaman belakang yang mungkin bisa disebut sebagai bagian depan studio.

Al mengajak Andin ke halaman belakang untuk melihat studionya dari tampak depan, di atasnya terdapat tulisan Andin's Studio dengan aksen berwarna hitam dan silver, Andin tampak terkesima, ini lebih dari keinginannya.

Sebelumnya ketika Al bertanya tentang studio yang diinginkan Andin di rumah mereka setelah menikah, Andin hanya menjawab "kalau boleh aku mau di belakang rumah aja mas, terus ada kaca besar biar aku bisa liat langsung halaman belakang rumah kamu pas lagi melukis, jadi lebih tenang dan rilex sambil liat burung dan kupu-kupu terbang, kayak di rumah papa di Surabaya," begitu pinta Andin, tentu saja Al langsung mengabulkannya semaksimal yang ia bisa.

Andin memang suka melukis sambil melihat pemandangan alam meskipun yang ia lukis bukan tentang alam, menurutnya menenangkan dan membuatnya lebih mudah mendapatkan inspirasi, di apartemennya pun Andin sering kali melukis di balkon.

Andin masih terdiam sejak ia melihat tulisan di atas studionya, apalagi ketika matanya melihat ke dalam dari dinding kaca, ruangan itu terlihat sangat luas, di dalamnya ada beberapa rak tersusun rapi dengan peralatan lukis yang sudah lengkap meskipun Andin tidak membawa peralatannya sendiri dari apartemen.

"Suka gak?" tanya Aldebaran pada wanita yang akan menjadi istrinya sebulan lagi itu.

Andin yang semula menatap kagum studionya mengalihkan pandangan pada Al, matanya berkaca-kaca. Andin hanya mampu mengangguk.

"Ayo masuk, liat dari dalam," Al kembali menarik tangan Andin untuk masuk. Sampai di pintu kaca, Al mengarahkan ibu jarinya pada handle pintu, ternyata pintu bisa dibuka dengan sidik jarinya.
"Nanti kita daftarkan sidik jari kamu ya," katanya pada Andin.

Andin lagi-lagi hanya mengangguk.

Sampai di dalam, Andin rasanya tidak tega menyentuh dan menggunakan semua yang disiapkan Aldebaran, terlalu rapi dan sangat indah dilihat, mengingat dirinya akan berantakan jika sudah mulai melukis, cat akan tidak sengaja mengenai meja, lantai, bahkan dinding.

Forever and EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang