Second

3.5K 401 28
                                    

Aldebaran duduk di samping Andin yang sedang fokus menggoreskan kuas berwarna pada lukisannya. Tatapan Al terfokus pada dua hal. Pertama, lukisan indah karya Andin, sebuah lukisan yang Andin bilang diminta Pak Widodo untuk menggambarkan kemenangan. Kedua, lukisan terindah karya Tuhan, wajah cantik Andin yang Al sebut menggambarkan kesempurnaan. Al menepati ucapannya untuk menemani Andin ke Gallery.

Andin sangat fokus pada kanvas di depannya dan cat-catnya sambil sesekali melirik Al.

"Kamu selama ini selalu liatin aku melukis tapi belum pernah coba, mau coba gak?" tanya Andin sambil tetap menggoreskan warna di lukisannya yang sudah setengah jadi.

"Nggak ah, gak bisa," Al langsung menolak tanpa pertimbangan.

"Kalau gak dicoba, gak akan pernah bisa."

"Kalau saya mau coba, saya juga gak tau mau melukis apa,"
"Dua gunung dan satu matahari di antaranya sama sawah dan aliran air di bawahnya?"

"Haha kayak gambar anak SD ya," tawa Andin, biarpun Al bicara dengan nada datarnya tapi menurut Andin itu tetap lucu.

"Kamu hebat Ndin, kamu bisa membuat lukisan-lukisan indah dan semuanya punya makna. Biarpun kalau diliat secara awam beberapa lukisan gak ada bentuknya tapi memberikan kesan sesuai sama apa yang kamu maksud,"
"Kayak gini, lukisan yang lagi kamu buat ini, keliatannya bukan sebuah gambar tapi cuma coretan-coretan gak beraturan, tapi kalau diliat lebih dalam saya merasakan kemenangan itu, warnanya juga sangat mendukung," Al terus menatap Andin sepanjang kalimatnya. Andin pun menatap Al yang sedang memujinya sambil tersenyum.

"Yuk coba,"
"Kamu coret aja apa yang lagi kamu rasain atau apa yang mau kamu coret,"
"Nanti aku tebak," Andin berdiri untuk menyiapkan kanvas baru dan menaruhnya di easel atau standing kanvas, memaksa agar Al mencobanya. Ia tidak tega membiarkan Al hanya diam saja menunggunya, pasti bosan, pikir Andin, padahal itu menjadi kegiatan favorit Al, memperhatikan Andin berjam-jam tanpa melakukan apapun.

Belum selesai Andin mempersiapkan peralatan perang untuk Al, handphone Al berdering, Al keluar dari studio Andin untuk menjawabnya karena takut mengganggu. Tidak lama Al kembali masuk dan duduk di tempatnya semula, bedanya kini Al fokus pada handphonenya. Andin yang melihat itu menghentikan kegiatannya menuang cat ke palet untuk Al, ia mengerti kalau Al mendapat pekerjaan dari siapapun itu yang baru saja menghubunginya. Andin pun kembali duduk di sebelah Al, di depan kanvasnya.

"Sayang.." panggil Andin lembut sambil menatap calon suaminya itu.

"Hm?" dengan segera Al mengalihkan pandangannya pada Andin.

"Kamu ke kantor aja kalau banyak kerjaan."

"Enggak, saya masih bisa kerjain dari sini," Al tersenyum, senyuman yang dikhususkan untuk Andin.

"Beneran?"

"Iya, Andin."

Andin mengangguk dan kembali melanjutkan kesibukannya.

..

"Kita ke kantor saya sebentar ya? Ada yang perlu saya bahas sama Rendy," kata Al ketika mereka sudah berada di dalam mobil di parkiran Gallery.

Andin mengiyakan tanpa keberatan.

..

"Tunggu sebentar ya, Ndin, saya ke ruang meeting dulu, ketemu Rendy dan Feli," Al berpesan setelah mengantarkan Andin duduk di ruangannya.

"Iya sayang, gak usah buru-buru," Andin tersenyum.

"Kalau butuh makanan atau minuman telepon pantry, kalau butuh yang lain telepon saya, oke?"

Forever and EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang