one shoot 14

767 69 7
                                    

Menjadi mahasiswa di daerah yang bahkan tidak pernah Haruto kunjungi bukan hal yang mudah.

Dia harus beradaptasi dengan pola lingkungan, hidup jauh dari kedua orang tuanya.

Awalnya pasti akan terasa sangat berat, terlebih dirinya adalah anak tunggal yang tidak pernah berjauhan dari orang tuanya.

Dan seakan semesta mengajak dirinya bercanda, tepat dia tahun kedua masa kuliahnya, orang tua Haruto meninggal.

Kecelakan naas itu tidak dapat Haruto cegah, Adik perempuannya menelpon saat dirinya baru saja mendapatkan teguran dari kampus akibat nilainya yang tidak mencukupi.

Semuanya terjadi mendadak, sebelum Haruto dapat memahaminya.

Seketika kehidupannya berubah seratus delapan puluh derajat. Tidak ada lagi Haruto yang selalu tersenyum ramah pada temannya, dia mengurung diri di kamar kosnya.

Membiarkan salah seorang temannya mengurus izin cuti kuliah Haruto.

Lukanya masih basah.

Kehilangan kedua orang tuanya adalah mimpi buruk yang sangat menakutkan bagi Haruto.

Jika bisa, dia berharap semuanya hanya mimpi dan saat dia terbangun kedua orang tuanya masih berada di rumah menanti kepulangannya.
.
.
.
“Kasian banget lo cing, ga ada yang kasih makan.”

Haruto berjongkok di tepi jalan, mengeluarkan sebungkus makanan kucing dari dalam tasnya dan menaburnya di tanah. Sontak, kucing lain mengerubungi dirinya.

Sembari tersenyum sendu, Haruto mengelus bulu kucing-kucing jalanan yang kotor itu.

Dia baru saja pulang dari minimarket, membeli persediaan untuk sebulan ke depan.

“Makan yang banyak ya, biar kuat ngadepin dunia,” gumam Haruto, lantas menertawai perkataannya.

Begitu selesai melihat kucing-kucing jalanan itu menghabiskan makanan yang Haruto beri, dirinya kembali berjalan menuju kosan.

Besok, Haruto akan bekerja di salah satu cafe milik teman kakaknya. Dia tahu, tidak mungkin selamanya dia diberi uang oleh sang kakak.

Saat Haruto hampir dekat dengan kosannya, dia mendengar suara anak kucing yang mengeong pelan. Saking pelannya, Haruto hampir mengira dirinya berhalusinasi.

Kedua netranya menatap sekitar, hingga menangkap seekor anak kucing dengan bulu berwarna putih yang kotor. Kepala anak kucing itu berdarah, seperti dilempari batu.

“Ya ampun, kasian banget.” Haruto bergegas menghampiri dan menghembuskan napas lega saat melihat luka tersebut tidak parah.

“Tega banget yang nyakitin kamu, semoga dibales Tuhan.”

Anak kucing itu mengeong lemah, seakan meminta tolong.

“Kita ke dokter, ya sayang,” ujar Haruto, menggendong anak kucing itu dengan hati-hati.

Sepertinya dia lupa, jika biaya dokter hewan sangat lah mahal.
.
.
.
“Ga infeksi kan, kak?” tanya Haruto, pada dokter hewan bernama Kim Doyoung itu.

“Untung engga, to. Tapi tetep aja, lukanya harus dijahit,” jawab Doyoung, setelah selesai membersihkan luka di kepala anak kucing tersebut.

“Kucing kamu, ya? Kotor banget bulunya.”

Haruto menggeleng,
“Bukan, kak. Ga sengaja ketemu di jalan pas balik ke kos.”

“Ya udah, kamu tunggu bentar, biar kakak jahit dulu lukanya.”

“Tapi kak...”

“Tenang aja, Ruto, ga usah bayar.”

Haruto menghembuskan napas lega mendengar ucapan mantan kakak tingkatnya itu.

Z.O.N.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang