one shoot 10

892 74 5
                                    

Malam sudah memastikan keberadaannya, dengan bulan sabit yang mengintip di balik awan tipis dan jutaan rasi bintang berserak di langit hitam.

Menggantung antara Seoul dan angkasa di atasnya.

Ini bukan kali pertama Haruto keluar rumah dengan tujuan yang sama.

Faktanya, beberapa hari dalam satu bulan ini, ia selalu meninggalkan rumah mungilnya di jam yang sama.

Menyusuri beberapa anak tangga dan jalan yang sempit namun tetap asri terawat,  Haruto sampai hafal di luar kepala rutenya.

Haruto tak pernah mempermasalahkan ini. Ia justru menikmatinya.

Haruto menikmati debaran jantung yang menggila ketika rasa khawatirnya hinggap dalam perjalanan pulang dari kantor : apakah orang itu melewatkan makannya lagi hari ini?.

Dan Haruto menyamankan dirinya, dalam degupan jantungnya yang tak karuan ketika panggilan belasan kali darinya hanya dibalas dengan satu gumaman kecil.

Dalam keremangan jalan menuju tempat yang biasa orang itu tuju setelah banyak hal terjadi dalam hari-harinya, Haruto hanya berharap sinar mata orang itu tak pernah meredup.

Langkah kaki Haruto berhenti di jarak yang sama dengan orang itu seperti hari-hari sebelumnya.

Tersenyum kecil  —dan lega— Haruto melangkah menepis jarak antara ia dan orang itu.

Taman itu bentuknya seperti bukit (?) dengan belasan undakan yang berfungsi sebagai dudukan.

Lampu-lampu putih di sekelilingnya redup menerangi rerumputan di bawah undakan yang tak masalah diinjak oleh manusia di atasnya.

Di bawah sana, pemandangan kota dan kesibukannya seperti menghiburmu : bahwa hidup memang selalu berjalan seperti ini, melelahkan dan memuakkan.

Namun kau tak pernah sendiri. Semua orang mengalaminya.

Orang itu duduk memeluk lutut erat. Berbalut kemeja polos putih dan celana  hitam, hanya surai gelapnya yang bebas terlihat. Wajah menawannya tidak.

Haruto berdiri di depan orang itu, tersenyum simpul ketika mendengar desahan napas frustrasi yang keluar.

Berjongkok, kini muka Haruto sejajar dengan tungkai orang itu yang tertekuk dan terpeluk erat.

Seperti terkena sengatan listrik, orang itu menegang sesaat ketika merasakan tangan Haruto menyentuh punggung tangannya lalu meremas pelan jari jemari lentiknya.

"Haruu.....", gumam orang itu lirih, memejamkan mata saat Haruto mencium punggung tangannya sebentar.

"Ayo pulang....MyAca", ajak Haruto, masih berjongkok di bawah Asahi.

Asahi, orang itu, hanya diam tak menjawab. Ia hanya menatap Haruto yang mengusap pipinya pelan, tenggelam dalam manik coklat besar milik yang lebih muda.

"Hari ini aku gagal lagi....", ucap Asahi setelah hening menyelimuti keduanya beberapa saat.

Dengan tangan masih tertaut satu sama lain, Haruto duduk di sebelahnya, sesekali mengecupi punggung tangan Asahi.

Asahi menyandarkan kepalanya di bahu Haruto, membiarkan Haruto tau gerak napasnya yang masih belum teratur.

Akhir-akhir ini, harinya selalu berjalan begini.

Menjemput bus dengan rute yang berbeda, terduduk di kursi interview, dan pulang dengan tangan hampa.

Asahi harus menelan kekecewaan bulat-bulat setelah tersingkir dalam lowongan pekerjaan yang ia coba.

Z.O.N.ETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang