and then he left.

76 14 4
                                    

Dari balik kaca Yerim mengamati pergerakan garis dan angka yang nampak di layar bedside monitor

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dari balik kaca Yerim mengamati pergerakan garis dan angka yang nampak di layar bedside monitor. Pergerakan yang menggambarkan fungsi tubuh Ayah secara real time, terhubung lewat kabel-kabel rumit aneka warna yang disambungkan ke beberapa bagian tubuhnya. Pergerakan yang Yerim selalu berdoa akan terus terlihat teratur, stabil. Membaik.

Kadang-kadang ada suara bip-bip mengagetkan muncul, membuat jantung Yerim seakan ikut lari keluar. Suara yang membuat kakak-kakak perawat mendekat dan ikut mengamati secara intense pergerakan di monitor yang sama. Sambil sesekali mengukur sesuatu, menyentuh sesuatu, menyuntikkan sesuatu sehingga bip-bip mengagetkan itu berhenti, digantikan suara yang lebih teratur.

Ayah memang telah pergi lama dari kehidupan Yerim dan Mamanya, tapi ia tahu Ayah ada. Mama kerap menerima telepon sesekali dan Yerim sering dikirimi beberapa paket kebutuhan sekolah serta hadiah dalam beberapa kesempatan. Ayah tetap mengitari orbit kehidupannya, sesekali.

Tidak seperti ini. Tubuh ayahnya berbaring lemah, berjarak beberapa meter di depannya namun hati Yerim dibayangi ketakutan akan perpisahan yang mengancam. Perpisahan yang sifatnya abadi.

Kanker paru-paru stadium akhir.

Sebuah vonis yang mengerikan, yang hanya ia dengar sesekali dalam skenario drama dan film yang pernah ia tonton. Tapi yerim pikir, Ayahnya masih memiliki kesempatan bertahan. Dengan seperangkat skema pengobatan dan radiasi yang dijalani, ia kira kondisi ayahnya akan membaik.

Keluarga mereka akan penuh kembali. Mereka akan kembali hidup bertiga bersama. Yerim, Ayah dan Mama.

Mama nampak pucat berdiri di sisi tempat tidur Ayah, serius berdiskusi dengan dokter dan salah seorang kakak perawat. Sudah hampir satu minggu Mama tak pulang ke rumah, sejak Ayah mengalami perburukan kondisi dan harus dirawat di ruang intensif.

Yerim masih ingat sore gerimis dua bulan yang lalu saat Mama menggenggam tangannya di atas sofa ruang tamu dengan mata berkaca. "Ayah sakit, Yerim.." ucapnya pelan dengan tercekat.

Ternyata Mama sudah mengetahui diagnosis Ayah sejak awal ia divonis kanker paru-paru. Mama kerap mendampingi Ayah saat kunjungan ke Rumah Sakit untuk kemoterapi dan radiasi. Sebulan sebelum pembicaraan itu.

Yerim pikir itu bukan penyakit serius. Ia pikir itu hanya akal-akalan Ayah karena sudah nggak lagi menemukan perempuan muda untuk diajak hidup bersama, dan berniat kembali bersama Mama karena tidak ada lagi yang mengurus kebutuhannya sehari-hari.

Namun Yerim salah.

Vonis Ayah nyata. Dengan prognosis buruk yang dipaparkan oleh spesialis onkologi yang menangani Ayah saat mengetahui kemoradiasi ternyata tidak begitu sensitif terhadap kanker nakal di tubuh Ayah, Yerim dan Mama harus menerima kenyataan bahwa waktu mereka bersama Ayah begitu terbatas.

Suara bip-bip muncul lagi. Kali ini lebih lama, lebih persisten. Berbeda dengan sebelumnya, dokter tampak lebih tenang mendekati bed Ayahnya, kakak perawat pun bergerak dengan pace yang lebih lambat. Mama Yerim telah duduk kembali di sisi ranjang. Punggungnya membungkuk, bergerak seperti sedang menangis menggugu.

Saat itu Yerim tahu bahwa harapan itu sudah habis waktunya.

Salah seorang kakak perawat menyentuh punggungnya, memakaikan gaun pengunjung dan membimbingnya mendekati ranjang Ayah. Mama mendongak saat merasakan Yerim menghampiri, pipinya basah. Mama bahkan tidak menangis saat Ayah memutuskan pergi dari rumah mereka.

Dengan tidak melepaskan genggamannya di lengan Ayah, Mama mengajak Yerim mendekat, mereka duduk bersisian. Mama meraup kedua tangan Yerim yang seolah meragu untuk menyentuh. Bukan apa-apa, Yerim hanya terlalu terkejut dengan semuanya. Ia pikir ia masih punya waktu..

Saat itu, tidak ada nama-nama perempuan asing yang sebelumnya menghiasi hidup Ayah dan menjauhkannya dari Yerim dan Mama. Hanya namanya dan nama Mama yang tersebut lamat dalam bulir-bulir nafas terakhir Ayah. Sebuah bentuk cinta yang tersisa, serta maaf yang terlambat.

Tapi genggaman Mama begitu tulus, Yerim lihat, bagaimana lembutnya ujung jemari mama mengusap lembab di dahi Ayah, menuntunnya berdoa. Dan sebuah kalimat, "aku sayang kamu, selalu.." menutup waktu Ayah di dunia, dalam kecup hangat Mama dan tangis Yerim yang menyayat.

Ayah pergi dalam cinta yang ia abaikan lama. Kasih yang beliau anggap pergi, namun selalu ada. Dan Yerim begitu mengagumi kesetiaan Mama pada Ayahnya. Meski kesetiaan itu penuh luka.

Kisah orang tuanya seharusnya membuat Yerim mengerti bahwa real love will always be there, constant, faithful, understanding.

Tapi tidak.. Ia selalu penasaran akan sesuatu. Bagaimana rasanya diinginkan dengan begitu besar, dengan begitu kuat. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TakenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang