1 - Orang Ketiga

367 14 0
                                    

Malam semakin larut saat udara dingin menerpa tubuhku. Aku masih terjaga dan harus tetap terjaga sampai suamiku, Mas Arga pulang. Duduk sendiri di kursi teras sejak pukul sembilan malam sembari memandangi tanaman hias yang tertata rapi, mobil kecilku yang biasa menemani segala aktivitas sebagai ibu rumah tangga, dan sepeda roda tiga milik Dinda.

Oh, iya. Salah satu roda sepeda itu rusak sudah berminggu-minggu yang lalu. Dinda menolak saat aku akan membawanya ke bengkel sepeda. Dia bilang ingin membawanya bersama papanya. Aku paham. Pasti dia merindukan saat-saat bersama dengannya. Dulu Mas Arga kerap bermain sepeda dengan Dinda, tapi sekarang jarang sekali.

Aku masih ingat saat ia datang membawa hadiah ulang tahun Dinda yang ketiga tahun. Gadis kecil itu senang bukan main. Setiap sore ia akan berputar-putar bermain sepeda di sekitar rumah. Jika Minggu tiba, ia akan berkeliling kompleks bersama Mas Arga.

Sayangnya, sudah beberapa bulan ini kegiatan dia seolah tiada habisnya. Selalu pulang larut malam dan sangat letih. Sibuk rapat dan pergi ke luar kota selama beberapa hari. Entah kenapa dia seperti budak duniawi. Padahal dulu dia tidak begini. Sesibuk apapun dia selalu punya waktu untuk anak dan istrinya. Dulu dia pria yang hangat dan begitu peduli pada kami.

Tiap akhir pekan kami selalu jalan-jalan. Entah ke pusat perbelanjaan atau ke tempat wisata. Sekarang? Mendapatkan balasan pesan dan telepon darinya saja sudah bagus. Aku merasa Mas Arga sekarang berubah. Mungkinkah karena efek naik jabatan jadi direktur perusahaan asing?

Aku hanya bisa mendesah lelah ketika tidak ada tanda-tanda kepulangan Mas Arga saat kulirik jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Bangkit dari kursi dan memilih masuk rumah. Menunggunya di kamar sambil menemani Dinda tidur. Sampai akhirnya rasa kantukku tak bisa kutahan lagi.

Alarm ponsel berbunyi pukul 04.30 tepat. Aku segera bangun dan pergi ke kamar mandi untuk wudhu dan salat subuh. Setelah itu pergi ke dapur. Pandanganku langsung terbelalak melihat sosok pria yang sedang terbaring di sofa ruang keluarga. Mas Arga rupanya sudah pulang entah jam berapa dan tidur di sana.

Aku buka tudung saji di meja makan. Masakan yang telah aku siapkan untuk makan malamnya masih utuh tidak tersentuh lagi. Sedihnya jadi sia-sia dan mubazir. Kumasukkan lagi ke dalam kulkas nanti atau mungkin kuberikan saja pada kucing kampung di sekitar rumah.

Padahal dulu dia jarang pulang terlambat. Setiap makan malam selalu dilahapnya hingga tandas. Belakangan ini kami hanya bertatap muka hanya saat sarapan pagi. Setelah itu dia langsung pergi dan bertemu dengannya lagi saat dia sudah terlelap.

Mas Arga, jika jabatanmu membuatmu terlalu sibuk, lebih baik kembali ke posisi sebelumnya. Kamu lebih punya banyak waktu untukku dan Dinda. Toh, kita masih bergelimang harta, tanpa harus kerja siang malam tanpa kenal waktu. Usaha dari mendiang ayahnya sudah cukup banyak membuat kehidupan kami mapan. Anehnya, Mas Arga seperti tidak pernah puas. Ia lebih suka bekerja menjadi karyawan daripada menjalankan usaha sendiri.

Sarapan sudah tersaji di meja. Mas Arga duduk di depanku. Ia sudah rapih dengan setelan pakaian kantornya. Menyantap roti bakar selai kacang kesukaannya dengan tenang. Dinda yang berumur empat tahun masih tertidur. Seandainya dia sudah bangun dan melihat ayahnya di sini. Pasti akan senang. Ia selalu melewatkan waktu pagi bersama papanya.

"Mas, ada kerjaan apa sih, sampai tiap hari pulang malam terus?" tanyaku memberanikan diri.

"Ya kerjaan kantor dong. Apalagi?" jawabnya dingin tanpa melihat ke arahku.

"Iya, aku tahu. Tapi kerjaan apa? Masa setiap malam lembur terus? Memangnya gak ada bawahan kamu yang bantu? Sekarang kan posisimu sudah jadi direktur, Mas. Teman-temanku dengan posisi yang sama selalu menyerahkan urusan pekerjaan sama bawahannya, tuh. Mereka gak sesibuk kamu setiap harinya. Masih ada waktu untuk keluarganya."

Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang