2 - Aku atau Dia

135 12 0
                                    

Mobil kecilku yang berjenis LCGC berwarna abu-abu metalik baru saja masuk ke halaman rumah. Disusul kemudian sebuah mobil SUV hitam milik Mas Arga. Aku bergegas keluar mobil dan menggendong Dinda masuk ke rumah dengan amarah di dada. Mama mertuaku yang tadi satu mobil mengekor di belakang. Sementara Mas Arga yang baru saja membanting pintu mobilnya berjalan tergesa-gesa mengikuti kami.

"Rey, tunggu dulu!" teriaknya.

Setelah pintu rumah terbuka, tanpa mau mendengarkan seruannya, aku segera masuk kamar tidur. Menutup pintu dan menguncinya terburu-buru. Dinda direbahkan di kasur. Ia masih terlelap selama perjalanan pulang dari Mall. Tubuhku ambruk di sampingnya. Tangisku pun pecah. Sudah sejak tadi menahan air mata yang sudah menggenang. Aku tidak mau mama mertua melihat.

Terdengar pintu digedor-gedor. "Rey, buka pintunya! Aku mau masuk." Mas Arga berteriak di depan pintu. 

Aku tidak mengindahkan permintaannya karena kecewa. Bagaimana mungkin Mas Arga lebih mementingkan jalan-jalan bersama perempuan lain dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Dengan putrinya sendiri. Kok tega sekali?

Masih jelas terbayang bagaimana rupa perempuan itu. Seperti bukan wanita baik-baik. Pakaiannya begitu minim dan terbuka hingga belahan dadanya terlihat jelas, dandanannya menor dengan bibir merah sensual, kukunya panjang seperti cakar, bulu matanya begitu tebal seperti milik artis sinetron, tapi tatapan matanya terlihat nakal dan menggoda. Baru kali ini aku tahu kalau Mas Arga punya teman wanita seperti itu. Dia seperti bukan teman kerja atau koleganya.

"Reyna, kumohon bukalah pintunya!" Sekali lagi Mas Arga berteriak dan aku masih tidak peduli. Rasa sakit dan kecewa ini masih terasa.

Aku yakin jika pengakuannya yang bilang kalau perempuan itu hanyalah teman dari Pak Hamid pastilah bohong belaka. Saat ia diminta pulang lebih dulu, tampak kekecewaan di wajahnya yang tertutupi senyum sinis. Kecurigaanku sebagai istri pun timbul. Aku merasa ada hubungan tak lazim di antara mereka berdua.

"Rey, tolong beri aku kesempatan menjelaskan. Kalau kamu pikir aku punya hubungan lain dengan dia, kamu salah besar. Kita memang dekat, tapi cuma teman. Dia itu simpanan dan asistennya Pak Hamid. Asal kamu tahu, seharusnya aku tidak boleh beritahu soal ini. Dia diutus olehnya untuk pertemuan kami karena beliau sedang ada urusan lain," ungkap Mas Arga dengan suara risau. 

"Teman tapi mesra maksudmu, begitu? Pakai peluk-peluk pinggangnya yang ramping itu, hah?"

Tak ada balasan dari protesku tadi. Lalu dia mulai berargumen lagi.

"Pokoknya percayalah padaku, Rey!"

Entahlah, Mas. Aku masih tidak percaya. Aku lebih percaya dengan mataku daripada ucapanmu yang mulai sering mengingkari janji. Janji tidak akan pulang malam, nyatanya bohong. Janji akan mengajak Dinda main sepeda, nyatanya juga bohong. Janji untuk tidak terlalu sibuk, nyatanya makin sibuk. Bahkan ulang tahun perkawinan kita yang kelima saja dia lewatkan begitu saja. Membuat hatiku sedih bukan main.

Selama ini aku berusaha sabar. Berusaha berpikir positif, tapi apa yang kudapatkan. Walaupun masih belum ada bukti jelas bahwa perempuan itu memang hanya teman biasa, tapi perasaanku sudah terlanjur terluka. Aku yang tak pernah disentuh semesra itu lagi, kini merasa sudah tak ada artinya.

Wanita itu terlihat lebih berharga daripada aku dan Dinda. Mas Arga seperti merasa bersalah karena tidak bisa mengantarnya pulang. Sikapnya tadi tampak seperti saat aku baru mengenalnya. Saat kita masih pacaran. Saat dia masih begitu memujaku. Hangat, ramah, matanya bersinar, dan mesra. Begitulah dia lima tahun lalu.

Gedoran di pintu perlahan menghilang. Mungkin dia sudah lelah mencoba merayuku. Sayup-sayup terdengar mama mertua mengajaknya bicara. Perdebatan pun terjadi antara ibu dan anak. Sayangnya, aku kurang jelas mendengar kalimat yang diucapkan mereka. Hanya beberapa potong kalimat saja.

Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang