8 - Hadirnya Samudera

126 12 0
                                    

Aku bingung saat Mama Anggun bilang jika Samudera sudah tidak sabar  bertemu denganku? Seolah dia sudah tahu banyak tentangku. Oh, mungkin saja dia sudah diberitahu tentang aku oleh beliau sebelumnya. 

Namun, kenapa aku justru tidak diberitahukan apa-apa tentangnya. Aku malah terpaksa mencari tahu sendiri melalui pembantu, satpam, dan juga tukang kebun. Herannya jawaban mereka sama. Mereka tidak tahu jika nyonya rumah memiliki anak lain. Bagaimana bisa mereka tidak tahu?

Walaupun Samudera tinggal lama di luar negeri, setidaknya pasti dia pernah pulang, kan? Mana mungkin sejak bayi tinggal lama di luar negeri? Kecuali dia anak adopsi.

Di tengah-tengah kebingunganku ini, Mama Anggun malah berkata sesuatu.

"Reyna, jangan terlalu percaya dengan apa yang kamu lihat melalui mata. Hati dan naluri harus lebih sering digunakan ya. Itu akan jauh lebih berguna nanti. Karena mata bisa menipu," katanya.

Entahlah. Apa maksudnya? Aku hanya bisa mengiyakan saja.

Begitu kami sampai di Bandara Soetta, ternyata pesawat yang ditumpangi Samudera masih belum tiba. Kami masih harus menunggu sekitar satu jam lagi dan menunggunya di ruang tunggu. Dinda dan aku menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Sementara Mama Anggun beberapa kali sibuk menerima telepon.

Tiba-tiba perutku terasa tidak enak dan terpaksa meninggalkan Dinda pada neneknya ke toilet selama beberapa menit. Begitu urusan perut selesai, aku bergegas kembali ke ruang tunggu.

Di tengah jalan saat kembali ke sana, tanpa sengaja mataku melihat sosok Mas Arga yang tengah berjalan ke arah yang sama denganku. Mau apa dia di sini? Apakah dia juga ingin menyambut kedatangan kakaknya?

Anehnya langkah Mas Arga malah seperti mengikutiku di belakang. Matanya terus menatapku dalam-dalam seolah takut akan kehilangan aku. Dia berhasil membuatku takut. Untuk apa dia terus membuntuti aku seperti seorang penjahat? Kenapa dia tidak bergabung saja secara baik-baik?

Dengan setengah berlari berusaha meninggalkan dia di belakang. Banyaknya kerumunan di bandara itu mempermudah aku untuk mengecohnya. Akhirnya dia tertinggal jauh di belakang dan tak bisa menyusulku lagi.

"Ma, apa Mas Arga tahu kalau kakaknya akan pulang hari ini?" tanyaku begitu duduk di bangku tunggu dengan napas terengah-engah.

Wajah Mama Anggun malah terpana dengan pertanyaanku.

"Kenapa kamu tanya itu? Di-dia gak tahu soal ini, kok," balasnya.

"Tadi aku melihat dia ke arah sini. Mungkin dia juga mau menjemput Samudera, Ma."

"Itu gak mungkin, Rey."

"Kenapa gak mungkin?"

Mama Anggun menghela napas sejenak sambil menatapku bimbang.

"Karena ... dia ... emmm ... dia ... sedang di luar kota, Rey. Mungkin kamu salah lihat," ungkapnya seperti orang kebingungan.

Aku salah lihat? Masa sih? Tapi tadi orang itu benar-benar seperti Mas Arga. Malahan dia tampak seperti marah padaku, tapi marah kenapa? Aku sudah membebaskan dia dengan perempuan itu. Bahkan dia tidak perlu repot-repot mengurus Dinda juga.

Saat sidang perceraian, Mas Arga sempat menolak hak asuh Dinda dialihkan padaku. Aku tidak mau anakku diasuh oleh mantan pelacur dan perempuan murahan seperti itu. Dia akan malu jika sudah cukup umur untuk mengerti kenapa orang tuanya bercerai dan papanya lebih memilih perempuan yang haram itu dibandingkan pasangan halalnya.

Beban psikologis Dinda akan berat nanti. Tidak sampai hati aku membiarkan itu terjadi. Dia akan kehilangan kepercayaan dirinya nanti. Yang paling parah adalah depresi.

Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang