Sebuah tamparan keras baru saja mendarat di pipi kiriku. Perih dan membuat wajahku merah seketika itu juga. Orang yang baru saja menamparku adalah Mas Arga. Ia menatapku dengan pandangan sengit. Kami bertengkar malam hari menjelang tidur.
"Dasar tukang ngadu! Kamu ini suka cari muka ya di depan mamaku?" bentak Mas Arga dengan mata melotot.
"Cari muka gimana sih maksudmu?" protesku tidak terima dengan tuduhannya sambil mengelus pipi.
"Apalagi kalau bukan cari muka dengan menceritakan segala masalah rumah tangga kita pada mama? Masalah keluarga jangan suka dibawa keluar!" hardiknya.
"Terus aku harus jawab apa saat mamamu bertanya kabar tentang kita? Tentang kamu khususnya? Aku sudah berusaha menjawab dengan baik tanpa membuat namamu jelek," dalihku.
"Oh ya?! Dengan mengatakan kalau aku sering pulang malam dan jarang mengajak kalian jalan-jalan lagi?"
"Memang kenyataannya begitu, kan? Kamu sering lembur dan tidak punya waktu dengan istri dan anakmu. Salahku di mana?"
"Salahmu karena kamu terlalu jujur. Seharusnya kamu bilang kalau aku sibuk kerja cari uang demi kalian."
"Apa?!" Aku terkekeh. "Cari uang demi kami? Sampai lupa waktu begitu dan ngoyo? Tapi aku tidak pernah meminta lebih padamu, Mas. Itu hanya alasanmu saja, kan?"
"Terus kamu pikir kita bisa hidup enak dan nyaman begini karena apa kalau bukan karena hasil kerja kerasku, hah? Kita punya rumah dua lantai. Mobil pun ada dua. Tiap bulan uang dapurmu tidak pernah kurang. Kamu kira aku lembur terus demi siapa?" hardiknya lagi emosi.
Aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa Mas Arga begitu emosi saat aku mengatakan yang sebenarnya pada ibunya sendiri. Seolah itu adalah aib.
"Lalu maumu apa, Mas?"
Napas Mas Arga naik turun karena amarah. Ia berusaha meredakannya sambil memandangiku dengan kesal.
"Pokoknya jangan pernah cerita apa-apa lagi tentangku pada mama. Katakan yang baik-baik saja! Aku tidak mau namaku dicoret dari ahli waris papa. Ingat itu!" Jari telunjuknya menghadap wajahku membuatku mundur selangkah.
Lalu dia balik badan dan pergi ke lantai dua di mana ruang kerjanya berada. Aku teringat sesuatu ketika tadi sore tak sengaja melihat ponselnya.
"Mas!" pekikku padanya.
Mas Arga menoleh di anak tangga. "Ada apa lagi?" balasnya ketus.
"Siapa itu Sherin?"
Matanya langsung membulat kaget.
"Kamu pegang-pegang ponselku ya?" tuduhnya lagi.
Aku menggeleng cepat. "Enggak, Mas. Kebetulan ponselmu bunyi ada yang menelepon. Jadi aku cuma lihat siapa yang menelepon itu. Di layar HP muncul nama Sherin. Aku hanya mau tahu siapa dia? Apa dia temanmu atau teman kantormu?" selidikku penasaran.
"Dia ... dia cuma salah satu kolegaku," jawabnya dengan sikap gelisah. Aku jadi heran. Padahal aku cuma bertanya.
"Pokoknya kamu gak boleh menyentuh ponselku apapun yang terjadi!" tekannya dengan wajah serius. Ia kembali menaiki anak tangga lalu menghilang. Terdengar suara dentuman pintu ruang kerja ditutup. Selanjutnya aku tidak tahu lagi apa yang dikerjakannya di dalam sana.
Aku pun tidur sendirian lagi di kamar walaupun Mas Arga pulang normal. Ia menghabiskan waktunya semalaman di sana. Aku sedih. Aku merasa dia tidak ingin menghabiskan sisa waktunya bersamaku. Padahal dulu tidak begini.
Hingga tengah malam aku terjaga karena haus. Setelah minum di dapur, hatiku tergerak untuk mengecek keadaan suamiku di ruang kerjanya. Apakah dia tidur dan atau masih ngelembur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]
Mistério / SuspenseSetelah suaminya ketahuan selingkuh berkali-kali dan kerap melakukan KDRT, akhirnya Reyna memilih bercerai daripada harus dimadu. Mantan ibu mertuanya malah menjodohkan dia dengan Samudera, kakak dari mantan suaminya yang selalu memakai topeng puti...