11 - Keputusanku

70 9 0
                                    

"Mungkin dia sedang mengincar sesuatu darimu?" tebak Wina, saat aku bercerita melalui telepon tentang keinginan Samudera dan ibunya untuk menikahkan aku dalam waktu seminggu ini.

"Mengincar apa?" tanyaku bingung.

"Mungkin ... harta warisanmu ... barangkali," tebaknya lagi.

Aku tertawa mendengarnya.

"Ya, ampun. Warisan dari Hongkong. Aku bukan anak orang kaya. Kedua almarhum orang tuaku gak meninggalkan warisan banyak, Win. Justru aset mereka jauh lebih banyak daripada milikku. Aku hanya punya rumah warisan ortu di kampung dan sepetak kebon pisang saja," ungkapku sambil tetap terkekeh.

"Ya, mungkin saja ortumu meninggalkan aset berharga, tapi kamu gak tahu. Dan, mereka yang tahu. Bukankah ibumu dan ibunya ternyata teman lama," beber Wina mengingatkan aku tentang hal yang terlupakan itu.

"Bukan teman lama. Hanya saja mereka satu kampung dulunya. Ah, aku rasa itu gak mungkin," jawabku ragu.

"Kenapa gak? Bisnis gak selamanya berjalan lancar, kan? Terserah kamu saja, deh. Aku hanya menduga-duga saja lho, Rey."

Aku paham, sih. Pemikiran Wina bisa saja terjadi, tapi kalau ingat semua sikap baik Mama Anggun, rasanya tidak mungkin ia mengincar sesuatu dariku melalui pernikahan.

"Baiklah, Win. Aku rasa ngobrolnya udahan dulu, ya. Aku mau jemput Dinda dulu di play group."

"Okay. Hati-hati, ya."

Obrolan di telepon pun berakhir. Aku segera mengambil tas dan kunci mobil di nakas. Begitu membuka pintu, sudah ada Samudera di depan kamar hingga membuatku terperanjat melihat topeng aneh itu.

"Kamu bikin aku kaget, Mas," keluhku.

"Maaf. Tadi aku sudah mengetuk pintu kamarmu, tapi sepertinya kamu sedang sibuk menelepon. Jadi aku menunggu saja di sini," dalihnya.

"O-oke. Ada apa, ya?"

Ah, kenapa aku jadi grogi?

"Aku mau membahas soal pernikahan kita."

"Hah?!"

"Eh, aku tahu ini masih terlalu dini, tapi ...." Pria itu menggaruk-garuk kepalanya.

Samudera juga tampaknya ikut grogi ketika aku terus memandanginya. Bukan apa-apa. Aku hanya heran kenapa dia begitu terburu-buru.

"Kamu mau ke mana? Tadi aku dengar kamu pergi, ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Mau jemput Dinda di sekolahnya."

"Kalau begitu biar aku antar."

"Eh, gak usah," jawabku merasa sungkan.

Namun, Samudera tetap memaksa. Kini aku dan dia dalam satu mobil menuju sekolahnya Dinda. Dia yang menyetir. Aku duduk di sebelahnya. Kami saling membisu dan aku merasa canggung. Kadangkala ada perasaan takut berada berada di dekatnya. Mungkin efek topeng itu. Barangkali.

"Reyna!" ujarnya memecah kebisuan.

"I-iya."

"Kamu pasti merasa aneh denganku, kan?"

"Ah, enggak juga. Hanya pada awalnya saja, sih."

"Maaf, kalau aku membuatmu takut," ungkapnya lirih.

Aku hanya tersenyum seolah-olah baik-baik saja. Sejujurnya hatiku berdebar-debar. Apalagi pikiranku selalu bertanya-tanya seberapa parahkah wajahnya dia? Apa dia tidak melakukan operasi plastik saja?

"Reyna, boleh aku bertanya lagi tentang hal pribadi padamu?" tanyanya lembut.

"Bo-boleh, Mas. Soal apa itu?"

Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang