Selama berhari-hari pikiranku jadi tidak tenang. Terus saja memikirkan rencana perjodohan mantan mama mertua dengan anak sulungnya, yaitu mantan kakak iparku sendiri yang selama ini tidak pernah aku ketahui.
Anehnya, kenapa selama aku menikah dengan Mas Arga, mereka tidak pernah bercerita tentang keberadaannya. Bukan alasan logis hanya karena dia tinggal lama di luar negeri lantas tidak pernah sekalipun memberitahukan bahwa aku punya kakak ipar juga. Hingga aku jadi berpikir kalau Mas Arga itu anak tunggal. Bahkan foto keluarga mereka pun hanya ada satu anak. Jika benar ada anak lain, kenapa dia tidak ikut difoto?
Entahlah. Semakin aku memikirkannya justru aku makin bingung sendiri. Diam-diam aku pun bertanya pada pembantu di sini, mereka pun tidak tahu bahwa majikannya punya anak lain. Mungkinkah dia itu anak angkat atau keponakan Mama Anggun?
Keresahanku ini tidak bisa aku diamkan. Aku pergi ke rumah Wina, tetangga sebelah rumah lamaku yang sudah sangat akrab denganku. Ketika ia melihat kehadiranku, Wina begitu terkejut. Mungkin karena selama beberapa bulan kami tidak bertemu. Mungkin dia pangling melihatku karena aku tampak lebih kurus.
Wina mempersilakan aku masuk dengan sikap sedikit canggung. Kepada dialah aku bercerita tentang masalahku. Sementara kubiarkan Dinda bermain boneka dengan Sheila di kamar.
"Reyna, apa kamu baik-baik saja?" tanyanya memulai obrolan. Ia tampak khawatir melihatku.
"Alhamdulillah. Beginilah aku sekarang. Aku harus kuat demi Dinda."
"Memang harus begitu, Rey. Aku kaget saat tahu rumahmu kosong. Ternyata kamu tinggal dengan mantan mertuamu, ya?"
"Iya. Mama Anggun memintaku tinggal bersamanya untuk menemani dia juga. Aku tidak bisa menolak. Apalagi dia masih tetap baik padaku."
"Syukurlah, Rey," ucap Wina lega. "Jadi apa yang membuatmu kembali kemari?"
Aku menghela napas sesaat. Ada rasa sesak di dada begitu teringat perjodohan dari Mama Anggun. Masalah yang ingin aku ceritakan padanya. Bukannya aku tidak suka beliau masih peduli dengan nasibku, tapi entah kenapa malah jadi terasa beban baru.
"Aku mau dijodohkan, Win," ungkapku blak-blakan.
"Apa?! Tapi kamu kan baru selesai masa idah bukan?"
"Justru itulah. Perjodohan ini akan dilangsungkan begitu masa idahku selesai."
"Terus ... kamu mau dijodohkan sama dia?" selidik Wina tak percaya.
"Ya ... aku belum bilang mau apa enggak, sih. Tapi Mama Anggun minta aku untuk penjajakan dulu. Kita kan belum saling mengenal sama sekali," balasku.
"Kalau ternyata kalian tidak cocok gimana? Apa mantan mertuamu akan tetap memaksa?" cecar Wina masih dengan rasa penasarannya.
"Dengan sangat terpaksa aku akan menolak calonnya itu. Aku gak mau pernikahan keduaku berantakan lagi."
"Benar, Rey. Jangan terlalu terburu-buru menikah lagi. Aku pikir sebaiknya kamu menenangkan pikiran dan menata hati dulu. Hapus semua bayang-bayang masa lalu mantan suamimu," usul Wina.
"Aku sedang berusaha, tapi semua butuh waktu. Sementara beliau malah minta aku segera menikah lagi dengan anaknya."
"Apa katamu? Menikah lagi dengan anaknya?!" Wina terperanjat. "Bukannya katamu akan dijodohkan dengan seseorang?" Kening Wina mengernyit kebingungan.
"I-iya. Maksudku anaknya itu yaitu kakaknya Mas Arga."
Wina makin terkejut.
"Kenapa kamu begitu kaget, Win?"
Temanku itu hanya tersenyum misterius.
"Enggak apa-apa. Aku cuma kaget ternyata Arga masih punya saudara lain. Aku pikir dia anak tunggal. Selama ini aku tidak pernah tahu, lho. Kamu tahu kan, dulu aku pernah satu sekolah dengannya saat SMA."
"Aku kira juga begitu. Mas Arga tidak pernah cerita kalau dia punya kakak yang tinggal lama di luar negeri."
Wina mengangguk-anggukkan kepala. "Jika benar, semoga dia lebih baik daripada Arga. Tapi aku heran, kenapa harus kakaknya Arga yang dijodohkan denganmu, sih? Kenapa bukan orang lain?" pikirnya merasa aneh. Aku pun berpikir sama.
"Aku juga gak tahu. Nanti aku akan tanyakan padanya."
Tanda tanya ini aku bawa sampai pulang. Saat mobil terparkir di halaman rumah, aku melihat ada mobil lain di sana. Mungkin tamunya Mama Anggun.
Tanpa berpikir lain, aku masuk rumah sambil menggandeng tangan Dinda. Begitu pintu terbuka, ada seorang pria dengan setelan jas hitam dan berkumis tipis sedang berbicara dengan Mama Anggun. Keduanya langsung berhenti mengobrol saat aku masuk.
"Kamu baru pulang rupanya," ujar Mama Anggun ramah.
"Iya. Tadi habis main ke rumah Wina."
Pria berkumis tipis itu tampaknya sepantaran dengan Mama Anggun. Mungkin dia temannya. Melihat wajahnya rasanya tidak asing. Ada tahi lalat di keningnya. Pria itu tersenyum ramah padaku saat tahu aku terus memperhatikannya.
"Dia siapa, Ma?" bisikku penasaran.
"Dia teman bisnisku, Rey. Namanya Pak Willy," balasnya.
"Ooh ...."
"Senang berkenalan denganmu, Mba Reyna," sapa Pak Willy. Dia menjulurkan tangan kanannya. Aku balas jabatan tangan itu.
"Kalau begitu silakan dilanjutkan ngobrol-ngobrolnya. Aku pamit ke dalam dulu," tukasku sopan sambil menganggukkan kepala.
Aku kembali berjalan ke dalam sambil tetap menggandeng tangan Dinda. Sementara perasaanku mengatakan jika kedua orang itu terus menatap langkah kakiku ini hingga menaiki tangga dan menghilang di hadapan mereka.
Rasa lelah di tubuhku langsung terasa begitu menyentuh kasur empuk. Sebelum pergi tidur, Dinda aku bersihkan badannya dan berganti pakaian tidur dulu. Tak lama Mama Anggun datang mengetuk pintu. Ia mengajakku makan malam di bawah.
"Nanti aku menyusul, Ma. Aku mau mandi dulu," ucapku.
"Oke. Mama tunggu di bawah ya sama Dinda," balasnya. Ia pergi bersama cucunya ke lantai dasar.
Sementara aku berendam air hangat sebentar di dalam bathtub untuk menghilangkan pegal-pegal. Ketika mataku terpejam, bayangan perselingkuhan Mas Arga dan perempuan itu kembali muncul. Aku melihat keduanya tengah asyik bercumbu di kamar tidur kami. Seketika itu juga ada rasa nyeri di hati. Anehnya aku hanya bisa terpaku melihat perbuatan tidak senonoh mereka dari balik pintu. Sementara air mataku perlahan meluncur membasahi pipi.
Rasa sakit hati itu terasa lagi. Begitu menyakitkan hingga tanganku bergetar dan ingin melakukan sesuatu terhadap mereka. Dadaku bergemuruh saat Mas Arga memeluknya mesra. Tiba-tiba sebuah krim kental beraroma mint menyentuh kulit. Aku terperanjat. Ternyata tanpa sadar pasta gigi di tanganku sudah habis terbuang karena aku tekan kuat-kuat akibat luapan emosi tanpa sadar.
Aku bangkit dan segera membersihkannya. Menyelesaikan mandiku, berganti pakaian, dan segera menyusul mereka untuk makan malam.
Di ruang makan, Dinda tengah disuapi oleh neneknya. Ia makan dengan lahap. Sementara aku bergegas duduk di seberang meja.
"Kenapa lama sekali baru turun? Dinda hampir selesai makan, lho," ungkap Mama Anggun heran.
Aku malu mengatakannya kalau aku banyak melamun di kamar mandi sampai pasta giginya habis terbuang sia-sia. Bahkan kulitku pun jadi keriput karena kelamaan berendam.
"Tadi ada temanku yang menelepon jadi kami ngobrol dulu sebentar," jawabku terpaksa berbohong.
"Kalau begitu, cepatlah dimakan makanannya. Lalu segera istirahat. Besok pagi kita akan pergi ke bandara," titahnya.
"Ke bandara? Untuk apa?"
"Tentu saja menjemput Samudera. Besok dia akan pulang dari luar negeri. Kamu harus ikut menjemputnya, Rey. Dia kan calon suamimu," paparnya sambil tersenyum.
Ada perasaan berdesir di hatiku. Aku jadi resah dan berdebar-debar. Tak terasa sudah waktunya untukku bertemu calon suamiku yaitu Samudera. Bagaimanakah rupanya? Karakternya? Apakah akan jauh berbeda dengan adiknya? Ataukah sama? Bolehkan nanti aku menolaknya jika ternyata aku tidak suka? Aku harap tidak akan melukai perasaan ibu dan anak itu.
***
Penasaran gak sih seperti apa Samudera itu? 🤔
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]
Mystery / ThrillerSetelah suaminya ketahuan selingkuh berkali-kali dan kerap melakukan KDRT, akhirnya Reyna memilih bercerai daripada harus dimadu. Mantan ibu mertuanya malah menjodohkan dia dengan Samudera, kakak dari mantan suaminya yang selalu memakai topeng puti...