13 - Teror di Malam Pertama

198 9 1
                                    

Ah, kepalaku agak pusing ketika terbangun. Ruangan di mana aku berada ternyata masih di kamar pengantin. Kuedarkan pandangan ternyata tidak ada siapapun. Hanya aku sendiri. Baju pengantin pun sudah berubah menjadi baju tidur. Apakah Samudera yang sudah menggantikannya?

"Oh, kamu sudah bangun?"

Seseorang baru saja masuk kamar dan dia suamiku yang baru. Samudera. Pria tinggi itu duduk di pinggir ranjang. Lalu tangannya menyentuh dahiku untuk mengecek suhu badan.

"Syukurlah gak sampai demam," katanya.

"Aku kenapa, Mas?"

"Kamu cuma kecapekan dan banyak pikiran, Rey."

"Mas Arga gimana? Apa dia masih di luar?" Tiba-tiba teringat mantan suamiku lagi yang menggila.

"Dia sudah pergi, Rey," jawabnya tenang.

"Serius, Mas?" Aku meragukan itu. Aku takut padanya. Aku takut dia akan menyakitiku lagi.

"Iya. Dia sudah aku usir dari rumah ini. Jangan pernah memikirkannya lagi ya! Jangan pernah! Pikirkan saja hidupmu yang sekarang." Kedua tangannya memeluk bahuku khawatir.

Aku pun mengangguk walaupun sebenarnya tidak yakin.

"Kalau Dinda di mana?"

"Dia sedang bersama sepupuku. Tenang saja. Oh iya, apa kamu lapar? Aku akan bawakan makanan," ucapnya menawari sambil bangkit dari duduknya.

Samudera sudah berganti pakaian juga rupanya. Aku baru sadar saat ia berdiri dan memandangiku dengan pakaian yang sudah berubah juga berupa kaos dan celana jeans. Mungkin pesta pernikahanku yang sederhana sudah usai.

"Apa kamu yang sudah menggantikan pakaianku, Mas?"

"Oh, bukan aku. Walaupun aku sudah jadi suamimu, tapi belum berani menyentuhmu, Rey. Mama yang melakukannya."

Ah, kupikir dia yang melakukannya. Kenapa dia belum berani menyentuhku? Oh iya. Seharusnya ini adalah malam pertama kami, tapi aku malah mengacaukannya. Apakah dia akan tetap memakai topengnya saat kami tidur berdua nanti?

"Reyna! Aku ambil makanan dulu ya. Kamu belum makan sejak kita menikah tadi pagi," sela Samudera khawatir.

"Iya, Mas."

Benar juga. Pantas saja perutku terasa lapar. Lalu suami baruku itu pergi dan kembali beberapa menit kemudian membawa nampan berisi sepiring nasi, buah, dan segelas air.

Sementara aku makan di atas tempat tidur, dia terus saja memandangiku dari sofa kecil di sudut kamar. Tentu saja tanpa melepaskan topeng itu meski aku sudah jadi istrinya dan di kamar ini hanya ada kita berdua. Dipandanginya terus menerus membuatku tidak nyaman. Hingga makananku habis, ia masih betah menungguiku.

"Mas!" ucapku dengan nada tinggi tiba-tiba.

"Iya?" balasnya sedikit terkejut.

Kira-kira kalau aku minta dia melepaskan topengnya di depanku, apa dia mau? Aku hanya penasaran seperti apa wajahnya. Kalaupun memang cacat parah dan jelek, aku tidak akan keberatan, kok.

Kusingkirkan nampan ini ke nakas di sebelah ranjang lebih dulu. Dengan hati-hati kuutarakan keinginanku untuk melihat wajah aslinya. Berharap dia tidak akan keberatan.

"Maaf, Rey. Aku belum bisa melepaskan ini," jawabnya.

"Kenapa? Aku kan bukan orang asing lagi."

"Bukan itu masalahnya. Kamu belum siap melihat wajahku. Nanti kamu shock. Aku gak mau," dalihnya.

"Aku gak akan shock atau apapun itu. Aku sudah siap menerima kekuranganmu, Mas," rengekku mencoba meyakinkannya.

"Maaf. Gak bisa untuk saat ini, Rey. Kalau sudah waktunya, topeng ini akan aku buka untukmu. Aku terlalu malu kalau kamu lihat."

Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang