Sebuah kamar tidur besar lengkap dengan kamar mandinya sendiri sudah disiapkan untukku. Kamar itu berada di lantai dua dan menghadap ke taman. Bukan ruangan istimewa karena sebelumnya pun sudah biasa aku tempati jika datang berkunjung ke rumah mertuaku.
Rumah besar dengan beberapa kamar di dalamnya untuk memang terasa sepi jika hanya dihuni oleh satu orang wanita paruh baya beserta pembantu, satpam, dan penjaga kebun. Papa mertua sudah lama meninggal. Tepatnya beberapa bulan setelah aku dan Mas Arga menikah karena serangan jantung.
Saat itu juga usaha meubel mereka yang sudah lama dirintis bertahun-tahun diserahkan pada Mas Arga. Sayangnya, ia mengurusnya tidak terlalu serius dan lebih suka bekerja di gedung kantoran dengan pakaian necis dan dasi. Daripada bekerja di kantornya sendiri dengan jam kerja fleksibel dan tanpa harus berpakaian resmi.
Sejujurnya aku lebih suka Mas Arga menjalankan usaha sendiri daripada harus menjadi bawahan orang lain. Di samping itu ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk keluarganya. Sayang, pikiran kami tidak sejalan.
Aku mengemasi pakaian dan barang-barangku di kamar ini. Sementara Dinda tengah asyik sendiri bermain di luar. Halaman rumah ini cukup luas. Bahkan ada taman bermainnya segala. Lokasinya pun sedikit menjauh dari penduduk karena di belakang rumah ini ada gudang kerja untuk membuat meubel. Karenanya harus jauh dari penduduk untuk menghindari kebisingan dengan suara-suara mesin. Aku rasa rumah ini cocok untuk tempatku menyepi sementara waktu.
"Reyna!"
Aku menoleh ke belakang. Ada Mama Anggun di pintu sambil tersenyum. Ia duduk di pinggir ranjang.
"Semoga kamu betah ya nemenin Mama di sini. Jangan sungkan kalau perlu apa-apa," tukasnya lembut.
"Iya, Ma. Terima kasih banyak untuk perhatiannya. Kalau gak ada Mama Anggun, Reyna bingung harus sama siapa lagi mengadu," balasku sedih. Teringat kedua orang tuaku yang sudah pergi lebih dulu.
"Iya, Rey. Pokoknya kamu harus tabah, ya. Mama pun sama kecewanya dengan kelakuan Arga. Mama malu sebenarnya sama dia, tapi mau bagaimana lagi. Dia sudah dewasa. Mama gak bisa mengatur kehidupannya lagi. Seandainya Arga masih ...."
Mama tiba-tiba terdiam. Seperti teringat sesuatu.
"Seandainya apa?" tanyaku penasaran.
"Ah, enggak. Cuma berandai-andai saja kalau saja perselingkuhan itu tidak pernah terjadi. Mungkin ...." Raut wajah Mama tampak gelisah seperti ada sesuatu yang yang sedang dipikirkannya.
"Reyna!" serunya dengan nada tinggi. Tiba-tiba ia terlihat bersemangat.
"Ada apa, Ma?" tanyaku heran.
"Setelah ini kamu mau menikah lagi, kan?"
Aku terkesiap dengan pertanyaannya. Belum juga berhasil aku jawab karena sejujurnya belum terpikirkan ke arah sana, tapi Mama seperti mengerti kebingunganku.
"Maaf, Rey, kalau Mama lancang. Mama tahu pasti kamu masih belum tahu langkah apa selanjutnya, kan?"
Aku mengangguk dan hanya tersenyum kecil.
"Sebenarnya kalau boleh Mama jujur. Mama ingin kamu segera menikah lagi. Biar kamu bisa segera melupakan Arga. Biar rasa sakit hati kamu itu segera reda. Mama ingin kamu mendapatkan laki-laki yang baik," ungkapnya menggebu-gebu.
"Aku tahu, Ma. Mungkin suatu hari nanti juga aku pasti akan menikah lagi, tapi enggak sekarang. Mungkin beberapa tahun kemudian. Mungkin setelah Dinda cukup besar untuk mengerti bahwa orang tuanya sudah berpisah. Apalagi menemukan calon suami yang baik dan tepat kan butuh waktu juga. Aku gak mau hanya mengandalkan penampilan luar saja," beber aku beralasan.
Benar. Mencari pasangan yang baik dan tepat butuh proses. Biar seleksi alam yang melakukannya. Aku tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Hanya karena terpesona oleh penampilan luar yang kupikir akan sempurna menjadi pasangan hidupku, ternyata ada sisi lain yang tidak bisa aku baca. Mataku terlalu silau dengan ketampanan dan keramahan Mas Arga waktu itu. Aku terperdaya.
"Mama paham kamu pasti trauma, kan?"
Aku mengangguk lagi.
"Untuk kali ini izinkan Mama memilihkan jodoh untukmu. Mama akan pastikan dia calon suami yang tepat untukmu. Bukan hanya mencintaimu, tapi juga akan selalu ada untukmu. Dia juga akan menyayangi Dinda seperti anaknya sendiri," papar Mama Anggun antusias.
Aku terkejut dengan niat baiknya. Padahal masa idahku saja belum berakhir. Yang membuatku lebih heran, kenapa dia memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri. Sedangkan Mas Arga justru tidak terlalu dia pedulikan.
"Tapi, Ma. Masa idahku saja belum selesai," dalihku.
"Gak masalah. Kita bisa menunggu sampai selesai. Sambil kamu memikirkannya baik-baik. Mama juga gak mau memaksa. Ini hanya usul."
"Baiklah kalau begitu. Aku coba mikir-mikir dulu."
"Baiklah, Rey." Wanita berjilbab itu tersenyum ramah padaku kemudian ia pergi.
Pikiranku kembali menerawang pada ide Mama Anggun setelah menata kamarku sudah beres. Bertanya-tanya dalam hati kira-kira siapa calon suami kedua yang sudah disiapkan olehnya. Apakah benar akan lebih baik dari Mas Arga?
Masalahnya, aku yang sudah mengenal Mas Arga lebih lama saja ternyata dia tega menyakitiku. Apalagi calon dari Mama Anggun yang sama sekali belum kukenal dengan baik. Aku jadi meragukannya idenya.
Sambil menunggu waktu, aku mencoba membantu usaha meubel di sana dengan menjaga toko dan memasarkan penjualan lewat media sosial.
Bukan cuma itu saja, kadangkala aku juga membantu membersihkan rumah dan pekarangan di sana walaupun sudah ada pembantu dan tukang kebun. Mama Anggun kadang melarangku melakukan pekerjaan itu, tapi aku hanya ingin membalas jasanya yang sudah banyak peduli padaku.
Sikapnya tetap baik meskipun aku sebenarnya bukan anak kandungnya dan terkesan seperti menumpang hidup. Ah, setelah ini aku akan kembali ke rumahku sendiri dan mulai menata hidup. Aku tidak mau dicap sebagai mantan menantu yang aji mumpung.
Saat aku membersihkan rumah besar itu, ada sesuatu yang mengganjal pikiranku. Di dalam foto keluarga mereka hanya ada foto kedua orang tua Mas Arga dan Arga sendiri. Padahal kata Mama Anggun, Mas Arga punya seorang kakak laki-laki, tapi kenapa dia tidak ada di dalam foto keluarga itu.
Bahkan ketika aku bertanya pada para pembantu di sana, mereka hanya diam membisu dan tampak kebingungan. Mungkinkah mereka juga tidak tahu bahwa majikannya masih punya seorang anak lainnya.
Selang beberapa minggu setelah masa idahku berakhir, Mama Anggun kembali membahas rencananya. Ia mengajakku berbicara di ruang keluarga.
"Jadi bagaimana, Rey? Apa kamu sudah memikirkannya?" tanyanya memulai obrolan.
"Sebenarnya sih sudah, Ma. Tapi aku mau tahu dulu siapa calon suamiku itu?"
"Baiklah. Mudah-mudahan setelah kamu tahu, niatmu untuk menikah lagi jadi makin yakin ya," harapnya.
"Insyaallah. Siapa dia?" tanyaku tidak sabar.
Sebelum mulai bicara, Mama Anggun menarik napas terlebih dahulu. Lalu menatap kedua mataku dalam-dalam sembari tersenyum kecil.
"Calon suami yang akan Mama jodohkan adalah ... Samudera. Kakaknya Arga," ungkapnya.
"Kakaknya Mas Arga? Mama serius?"
"Pastinya. Makanya Mama pernah bilang mau memperkenalkan kalian, kan?"
"Iya. Ta-tapi kenapa harus dia? Nanti apa kata orang? Dikira nanti aku naik ranjang, Ma. Aku gak mau di cap jelek sama orang-orang," dalihku keberatan.
"Pokoknya kamu gak usah mikir macam-macam, Rey. Percayalah sama Mama. Samudera itu baik dan pengertian. Nanti kalian bisa penjajakan dulu sebelum menikah. Gimana?" bebernya dengan mata berbinar-binar dan tampak bersemangat.
Sementara aku justru sebaliknya. Merasa khawatir dan tidak yakin dengan perjodohan ini. Bagaimana sikap Mas Arga nanti jika tahu aku akan menikah dengan kakaknya sendiri?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria di Balik Topeng [Sudah Terbit]
Misterio / SuspensoSetelah suaminya ketahuan selingkuh berkali-kali dan kerap melakukan KDRT, akhirnya Reyna memilih bercerai daripada harus dimadu. Mantan ibu mertuanya malah menjodohkan dia dengan Samudera, kakak dari mantan suaminya yang selalu memakai topeng puti...