somi dan simphoni hitam

418 67 3
                                    

"Somi!" panggil Haechan sambil masih mengejar Somi. Sepeda yang didorongnya, cuma menghambat tiap langkahnya. Dia terus mengikuti bayang-bayang Somi, dia udah tertinggal cukup jauh.

Perlahan, Haechan memperlambat langkahnya di tikungan jalan. Sepi. Sepi sekali. Sosok Somi langsung jelas tertangkap matanya tanpa dia perlu mencari-cari lagi. Somi berdiri mencengkram tiang lampu jalanan. Terengah seperti dirinya.

Haechan memarkir sepedanya di tepi jalan. Kemudian perlahan, dia mendekati Somi. Dia masih nggak tau apa yang bisa dia lakukan, atau sekedar dia katakan.

Tadi dia sempat kepikiran buat pulang aja. Ngebiarin Somi nyelesaiin masalahnya sendiri. Berpura-pura tuli, pura-pura nggak tau apa-apa. Tapi sayangnya, Haechan nggak cukup mahir untuk berpura-pura tuli. Dia udah terlanjur dengar pertengkaran Somi dan ibunya. Bikin dia makin kesulitan buat mengabaikan situasi kali ini, mengingat dirinya dan Somi, sudah terlanjur menjadi teman.

Haechan terdiam memandangi punggung Somi. Mencoba mencari tau apa yang bisa dia lakukan untuk Somi. Menepuk-nepuk pundaknya supaya dia berhenti menangis? Tapi nggak, Somi nggak menangis, nggak terdengar isakan apapun. Terus apa yang bisa dia lakukan?

"Sori, Chan. Seharusnya lo nggak lihat itu tadi"

Haechan terdiam di tempatnya, masih memandangi punggung Somi. Perlahan, Somi berbalik menatapnya.

"Lo boleh pulang. Thanks udah antar gue pulang" Ucapnya sungguh-sungguh.

Haechan nggak bergeming. Gimana bisa dia meninggalkan Somi sendirian disini, di saat kondisinya kacau seperti ini? Walaupun samar, Haechan bisa melihat ada genangan airmata di kedua mata Somi.

"Lo pulang aja" pinta Somi.

Tapi Haechan tetap nggak bergeming.

"Lo pulang, Chan!" Setitik bening itu meleleh juga pada akhirnya dari pelupuk mata Somi, "Lo pulang aja! Gue pengen sendiri"

Haechan masih diam memandanginya.

"Lo pulang, Chan! Gue nggak butuh elo!" pekik Somi kesal. Dia segera mendekap wajahnya sendiri. Menekan wajahnya untuk menghentikan tangisannya.

Biasanya dia bisa bertahan, menahan segala isak tangis yang ingin dia tumpahkan. Biasanya, dia bisa melawan kesedihannya. Biasanya, dia bisa terlihat kuat. Tapi nyatanya, dia nggak bisa selamanya seperti itu. Nggak bisa selamanya menjadi kuat. Dia tetap Somi yang lemah, tetap Somi yang rapuh. Tetap Somi yang cengeng seperti dulu.

"Ayah.." bisik Somi dalam hati. Dia berjongkok di tempatnya sambil masih menyembunyikan wajahnya yang basah oleh airmata.

Perlahan Haechan mendekat, berhenti tepat di hadapannya. Tanpa berpikir panjang, Somi langsung memeluk kaki Haechan. Mendekapnya kuat-kuat dan menumpahkan semua airmata yang sudah ditahannya bertahun-tahun.

"Somi?" panggil Haechan panik. Haechan tengok kanan-tengok kiri. Beruntung sepi. Kalau ada orang yang lihat, Haechan yakin bisa jadi salah paham ini!

Haechan kembali memandangi Somi yang masih mendekap kakinya erat, kemudian menghela berat. Memutuskan buat membiarkan Somi melakukan apa yang dia mau, asalkan dia berhenti menangis. Hatinya pedih mendengar tangisan Somi.

Lalu dengan hati-hati, Haechan mengulurkan tangan, mengusap lembut puncak kepala Somi, usaha ringan untuk menenangkannya.

"Ayah.." rintih Somi, hatinya semakin pedih.

•••


Menit-menit terlalui dalam diam. Somi masih membuang muka. Masih terlalu malu dengan kondisinya saat ini. Bagaimana bisa pertahanannya hancur di depan makhluk satu ini? Dari sekian banyak manusia, kenapa harus di depan Haechan? Kenapa bukan yang lainnya?

beautiful painTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang