Setelah kebangkitanku itu, aku pun memutuskan untuk membuka salah satu jendela yang berada di ruangan rumah sakit ini. Tersiratlah masuk sinar (cahaya) mentari pagi yang sangatlah indah dihadapan kedua mataku, lalu sinar itu pun menerangi seluruh pelosok ruang kamar rumah sakit ini. Indah sinarnya seperti membawakanku sebuah kesadaran, bahwa; Aku (memanglah) harus tetap tegar dalam menjalani kehidupanku, meski sesulit ini. "Sayaaang?? Ya... Ampun... Sayang, akhirnya kamu sudah sadar juga. Kamu kenapa harus melakukan hal semacam ini, sayang? Memangnya kamu gak sayang lagi sama Bunda?" Runtutan ucapan dari Ibuku, yang terkejut bahagia atas kesadaranku ini, sambil terus memelukku erat dengan airmata yang sudah membasahi kedua pipinya.
"SAYANG KALIAN?" -Kalian saja yang tak pernah sadar, akan betapa besarnya rasa sayangku ini kepada kalian. Justru, seharusnya akulah yang bertanya seperti itu kepada kalian. Karena semua ini aku lakukan, hanya karena kalian yang tidak pernah lagi memperhatikan aku, membiarkanku sendirian di dalam sepi, membuat aku semakin terpuruk, dan terus saja terpuruk. -Sehingga rasa putus-asa pun berhasil menguasai diriku, lalu rasa itu pun menyesakan jiwaku. Lantas kalian menyalahkanku, atas semua yang aku lakukan ini? ...Bodoh!!! Perlahan tapi pasti, semua jawabanku ini muncul di dalam benakku, namun tak ada satu kata pun yang mampu untuk terucapkan olehku.
"Ibu... Tara sudah sadar Bu...!!!" Teriak Ibuku. Membangunkan Nenekku yang masih lelap tertidur, setelah semalaman terjaga untukku. Ibuku terus saja berteriak-teriak gembira, atas kembalinya aku dari masa-masa Kritis-ku selama ini. Teriakan itu pun membangunkan semua orang yang tertidur di ruangan kamar ini. Ibuku terus saja berteriak bahagia, tanpa sedikitpun dirinya melepaskan pelukan eratnya itu, dari tubuhku ini.
"Alhamdulillah... Sayang, kamu akhirnya sudah sadar juga?" Tiba-tiba Ayahku pun terbangun, dan langsung saja memelukku erat.
Seketika itu, hati kita bertiga seperti menjadi satu kembali. Pelukan tersebut seolah memberhentikan sejenak langkah Sang Waktu, membekukan semua yang telah mencair selama ini, dan mencairkan dinginnya Sang Hati -yang telah membeku selama ini. Lalu, membawa sebuah perubahan dari hal negatif menuju hal yang positif. Kemudian, mampu melemahkan hati-hati keras mereka berdua. Semua ini terjadi, hanya karena sebuah hal yang sangatlah sederhana. Dimana Ayah dan Ibuku kembali berpelukan, yang disertai dengan diriku yang berada di antara pelukan tersebut. Indah... sungguhlah indah yang kurasakan saat ini.
***
"Kita memang tidaklah bisa untuk memilih sebuah keluarga, yang sesuai dengan keinginan kita. Karena mereka (keluarga) adalah pemberian dari Tuhan, sebagai bagian dari kehidupan kita -yang harus selalu kita jaga keutuhannya. Mereka (keluarga) juga bukan hanya menjadi sebuah pilihan atas keinginanan kita, melainkan sebagai wadah dimana Tuhan akan menurunkan kebahagiaan -Nya, jika kita bisa menjaga keutuhannya. Tidak ada gunanya jika kita hanya terus saja berucap iri, atas kebahagiaan orang lain bersama keluarganya. Karena buat apa kita harus iri kepada mereka, sedangkan saja kita sendiri tidak tahu apakah mereka benar-benar bahagia atau tidak."
Ya, aku akan terus mencoba untuk memahami keadaan keluargaku saat ini, meski teramat pahit kegetiran yang harus ku terima selama aku mencoba memahami keadaan keluargaku ini. Aku akan tetap mensyukurinya, karena aku percaya; Jika keluargaku ini adalah segala nikmat yang telah diberikan Tuhan di dalam kehidupanku ini. Dan aku sungguhlah percaya; Jika suatu saat nanti semua pasti akan berubah (Dari sebuah derita, menjadi sebuah kebahagiaan).
(6)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melankolis: Sebuah harapan dan airmata. (Completed)
Teen FictionTara, gadis yang terlahir dan hidup didalam keluarga yang broken, permasalahan dalam hidupnya pun selalu datang menyerang secara bertubi-tubi. Tak hanya keadaan rumahnya saja selayaknya hidup dimedan perang karena ulah kedua orangtuanya yang selalu...