Seperti sedang di bodohi oleh Sang Takdir. Aku kecewa, aku terluka, dan aku pun ingin berontak, namun semua itu sudah terlambat. Aku sesali, dan juga aku tangisi, namun sekali lagi semua itu sudah terlambat. -'Nasi sudah menjadi bubur'. Seperti itulah gambaran (ungkapan) yang tepat untuk menjelaskan keadaanku saat ini. Keputusanku yang salah ini, hanya memper-parah keadaan. Membuat mereka berdua menjadi semakin dirundung dalam kesedihan mereka. Padahal, bukan inilah yang aku harap-harapkan. Hal ini jugalah yang membuat diriku ini menjadi tersadar, bahwa;
'Kematian yang dikarenakan oleh perasaan berputus-asa, bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah. Melainkan, hanya akan membuat masalah baru di dalam masalah yang sudah terjadi. Lebih baik menjadi seorang Melankolis (seorang pemurung yang selalu saja merenungi nasibnya, dan merasa; Bila kata bahagia jauh dari kehidupannya), jika dibandingkan harus menjadi seorang yang berputus asa.'
'Orang yang membunuh dirinya sendiri (hanya dikarenakan merasa dirinya paling sengsara di dunia ini) adalah seorang pecundang yang tidak akan pernah merasakan kebahagian di kehidupannya, meski sudah berada di dunia yang berbeda sekalipun. Lalu, akan sangat menjadi sia-sialah kematiannya tersebut, dan kemudian hanyalah sebuah penyesalan yang akan terus saja menghantuinya.' Atas kesadaranku yang telat inilah yang pada akhirnya membuat diriku ini harus berjuang kembali untuk mendapatkan kehidupanku lagi.
''Nikmati saja semua yang terjadi di dalam kehidupanmu itu, dengan memperbanyak rasa bersyukur kepada Sang Kholik. Karena lewat bersyukur, kamu bisa menemukan kebahagiaan di kehidupanmu itu.''
''Tak ada miskin jika tak ada kaya, tak ada lapang jika tak ada sempit, dan tak ada bahagia jika tak ada derita. Maka dari itu sadarilah; Bila Kebahagiaan, kesedihan, dan penderitaan hanyalah sebuah persepsi seseorang dalam menilai sebuah keadaan.''
***
Malam hari mulai semakin larut dalam keheningan. Suasana rumah sakit terasa semakin senyap, dengan diriku masih saja terbujur kekakuan ini, mencoba sebisa mungkin (untuk bangkit kembali) menuju kesembuhan dan mencoba meraih kembali kehidupanku yang telah aku sia-sia kan itu. Namun, karena hati terpasung dalam kesepian seakan menggugurkan sejuta harapanku itu, lalu membelengguku dalam kebimbangan hati, antara; Untuk terus hidup menjemput kesengsaraan ku, atau tetap pada kesengsaraan ku di dalam kematian ku.
Masih terdengar lirih isak tangis dari orang-orang di sekitarku. Walaupun, suara tangisannya sudah mulai tampak lelah dan melemah, namun masih menyayat hati bila didengarkan. Lalu, dimanakah keberadaan kedua orang tuaku pada saat ini? Ya, memanglah mereka berdua masih berada di ruangan ini, tetap setia mendampingiku dan menjaga diriku yang terkulai lemah, namun mereka berdua berada di dua sisi berbeda pojok ruangan ini.
Layaknya seorang petinju yang hendak bertarung di atas ring, kedua mata mereka saling menatap (sangat tajam) dengan perasaan penuh dendam (kebencian) -mengartikan tatapan mereka berdua pada saat itu. Sebuah tatapan teramat benci kepada seseorang yang hendak menjadi lawannya tersebut, disertai juga sebuah keinginan (yang besar) untuk menjatuhkan seseorang yang menjadi musuhnya itu. Tak terlihat sedikit pun oleh kedua mataku ini akan adanya sebuah kebersamaan di antara mereka berdua. Lantas, sebenarnya ada masalah seperti apa di antara mereka berdua? Entah dan hanya kata entahlah yang bisa terus aku ucapkan pada saat ini.
(4)
KAMU SEDANG MEMBACA
Melankolis: Sebuah harapan dan airmata. (Completed)
Teen FictionTara, gadis yang terlahir dan hidup didalam keluarga yang broken, permasalahan dalam hidupnya pun selalu datang menyerang secara bertubi-tubi. Tak hanya keadaan rumahnya saja selayaknya hidup dimedan perang karena ulah kedua orangtuanya yang selalu...