Bagian 2/2: Memoria

410 44 31
                                    

Ayah. Benar!!! Tiada hari tanpa perjuangan baginya, tiada waktu tanpa tantangan untuknya, dan tiada saat tanpa tetesan keringat yang membasahi tubuh lelahnya. Semuanya itu bermuara hanya kepada satu titik Sentral, yang bermaknakan; 'Demi membahagiakan Sang Buah hatiku.' Deruan nafasku adalah ayunan langkah, dan raihan dalam sebuah jangkauanku semuanya itu hanya aku berlabuhkan menuju namamu, dan masa depanmu kelak. Aku pun tidaklah mau mencatat, sudah berapa kali-kah aku harus terjatuh-bangun untuk tetap berjuang hanya demi membahagiakan dirimu?

Aku juga tidak berharap engkau menghitung, sudah berapa banyak-kah tetesan keringatku yang mengalir untuk menghidupi kehidupanmu? Bahkan, aku juga tidak sudi menyimpannya semua itu. Karena aku sungguh tahu; Engkaulah harapan terbesar bagi diriku, dan engkaulah masa depanku. Semua itu aku lakukan bukan untuk mengharap balas jasa, apalagi belas kasihan darimu. Jelas bukan. Namun aku sungguh sangatlah yakin, bahwa; Sejarah, dan faktalah yang akan bertutur kepadamu tentang betapa mulianya perjuangan seorang Ayah untuk keluarganya.

Aku hidup di dunia ini bukanlah untuk diriku sendiri, namun untuk anak-anakku kelak. Seluruh hembusan nafas yang berhembus dari anak-anakku tidaklah boleh sampai tersendat, apalagi harus sampai berhenti. Aku kira apa yang aku miliki kini telah aku serahkan kepadamu, dan apa yang telah aku punyai saat ini sudah menjadi milikmu, tak ada lagi yang tersisa dariku, apalagi aku simpan hanya untuk diriku sendiri. Kecuali; Kasih yang akan tetap abadi, dan rasa cinta kepadamu yang tak akan pernah berkurang, itu semua akan aku selalu simpan di dalam hatiku, dan tidak akan kubiarkan hilang, apalagi sampai punah ditelan Sang Waktu.

Entah... Bagaimana pun sikap, dan perbuatanmu yang akan engkau berikan kepadaku nantinya?!! Ingatlah anakku, dimana engkau mulai bersikap cuek, membantah, atau bahkan melawanku, disitu jugalah kasih sayangku semakin berlimpah ruah, aku tuangkan untukmu. Di sisa nafasku ini, aku akan tetap menggerakkan naluriku sebagai seorang Ayah yang akan terus memafkanmu -Kendati, akhir hidupku ini sudah berada diambang batas usiaku.

***

Memang kulitku ini terasa kasar. Karena sengatan matahari, dan terpaan hujan, namun Perangai-ku tidaklah demikian. Aku akan tetap bersabar menghadapi semua perlakuanmu yang terkadang menyakiti hatiku ini. Walaupun wajahku ini nampak hitam Legam, namun bukan berarti perasaanku pun ikut kelam, (buta akan rasa) dan tak ada pengertian untukmu. Perjuanganku untukmu-lah yang akan menjadi sebuah bukti dari semua pengertian sejatiku akan kasih sayang, dan cintaku yang kuberikan sepenuhnya untukmu.

Wahai anakku; Walaupun terkadang aku kehabisan kata-kataku untuk memberimu nasehat, dan terkadang kehabisan akal juga untuk menyadarkanmu. Namun, aku tidak pernah sedikit pun untuk menyesal telah mempunyai anak sepertimu, dan aku pun juga tidak pernah menyesali jika aku ini terlahirkan sebagai Ayahmu, bahkan aku tidak pernah sedikit pun ada keinginan di benakku untuk menghapus namamu dari Silsilah di keluarga kita ini. Sebab jika itu sampailah terjadi, berarti aku telah membuat miskin keluarga ini. Karena; Bagaimana pun sikapmu itu, dan betapa menyakitkan tindakanmu itu kepadaku? Bagiku; Engkau tetaplah menjadi kekayaanku, dan harta yang paling berharga yang aku miliki di dalam kehidupanku selama ini.

Aku pun percaya; Jika setitik asa itu bisa berubah menjadi sebongkah keyakinan, sedikit saja gula yang tertuangkan itu sudah mampu merubah satu rasa menjadi banyak rasa, segenggam garam pun itu sudah cukup menambah rasa enak sebuah makanan, dan setitik cahaya saja sudah mampu untuk menyinari kegelapan. Bahkan aku pun juga teramatlah percaya; Jika cinta selalu mempunyai kekuatan untuk terus memaafkan, lalu kasih sayang pun selalu mempunyai daya untuk mengampuni. Itulah yang disebut sebagai; 'POWER OF LOVE AND POWER OF FORGIVENESS.'

Anakku, aku akan selalu memberikan nasehat bijakku kepadamu; Kau boleh saja menangis sekeras-kerasnya. Tetapi, jadikanlah tangisan itu menjadi sebuah nyanyian pengharapan. Kau boleh saja meneteskan air matamu itu. Namun, jadikanlah setiap bulir tetesan airmatamu yang terjatuh itu sebagai obat penenang jiwamu yang mampu menyejukkan relung hatimu yang terdalam. Dan kau boleh saja bersedih. Namun, jadikanlah pernak-pernik kesedihanmu itu, menjadi sebuah kesediaan, dan kesiapanmu untuk terus berjuang demi apa yang menjadi keinginanmu itu.

***

Anakku, aku juga akan selalu memberimu sebuah falsafah arif, bahwa; Hidup ini bagaikan seorang Balerina yang hendak menari dengan indahnya. Sehebat apapun tarian yang dikuasainya, dan seindah apapun penampilan dirinya, namun ia tetaplah harus menguasai terlebih dahulu lantai yang menjadi tempatnya berpijak nanti. Ia pun juga harus mendengarkan dengan seksama musik yang (mengalun) mengiringi tariannya itu. Bahkan, Ia pun juga harus memperhatikan, dan memandang orang yang melihat penampilannya itu. Serta, dirinya juga harus berjuang untuk memuaskan keinginan mereka (yang melihat penampilannya).

Inti terdalam dari pesanku ini adalah; Engkau hidup bukan hanya untuk dirimu sendiri, melainkan juga untuk menyenangkan hati orang lain yang berada di sekitarmu. 'Dimana langit dijunjung, maka disitulah bumi dipijak' -Engkau harus menyadari hal semacam ini, dimana pun kaki-mu itu akan berpijak. Dan janganlah pernah engkau membenci orang-orang yang telah memberikanmu sebuah penilaian atas apapun juga tentang dirimu, meskipun penilaian dari mereka terkadang menyakiti hatimu. Karena; Jika engkau mampu menjadikan penilaian itu sebagai sebuah motivasi, maka berbahagialah masa depanmu kelak.

Anakku. Bila engkau telah lupa akan semua pengorbananku, tidaklah apa-apa. Asalkan; Engkau jangan pernah lupa akan siapa dirimu, dan juga jangan pernah engkau lupakan keimananmu itu. Memanglah aku tahu, bahwa; Ayah yang baik, dan bijak itu tidaklah akan pernah berharap anaknya agar harus mengingat atas semua pengorbanannya. Namun ada satu permintaanku yang sangatlah sederhana, yaitu; Bila kau rindu akan sosok diriku ini, nyanyikanlah sebuah lagu sendu dari seorang Ebiet G Ade yang berjudul; 'Titip rindu buat Ayah.' Itu pun sudah sangatlah cukup untuk menghiburmu di kala engkau merindukan akan hadirnya sosokku. Ayah.

Akhirnya, mata lelahku tak lagi tertahankan untuk lekas tertidur, dan disertai juga kedua pasang pipiku yang sudah terbasahi oleh airmata-ku ini. Terima kasih Ayah, terima kasih Ibu. Akan selalu aku ingat, dan aku kenang betapa besarnya jasa kalian berdua untukku. Aku sangat mencintai, dan menyayangi kalian berdua, bahkan seluruh baktiku hanya aku tundukkan di bawah kaki kalian berdua.














(10)

Melankolis: Sebuah harapan dan airmata. (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang