Hidupku semakin tak karuan, bahkan keadaan fisik diriku pun ikut berubah seiring dengan berjalannya waktu yang terus saja menyiksa batinku. Ya, Ayah dan Ibuku tak kunjung berhenti untuk tidak lagi bertengkar. Sinar orange yang dipancarkan Sang mentari di sore hari itu seperti menyakitkan mataku, yang sudah sejak tadi berdiri di lantai tiga gedung sekolahku. Sejenak aku terpikirkan tentang dampak dan akibat dari tindakan yang aku lakukan saat ini. Tidak lagi aku gubris ke-khawatiran dari dampak dan akibatnya. Aku pun memutuskan untuk langsung melompatkan diriku itu, menuju pelataran sekolah lantai satu yang di berada di depan sebuah lapangan sepak bola di sekolahku itu.
Gelap mataku, hening seketika pandanganku, saat tubuhku ini telah terjatuh dan membentur ke tanah lapang sekolahku itu. Beberapa Siswa dan Siswi yang sempat melihat kejadian itu, langsung berlarian kesana-kemari mencari pertolongan. Ada pula yang berteriak histeris memanggil-manggil nama seorang guru untuk datang ke tempat kejadian itu. Beberapa guru-guru yang sudah berkumpul, dan bersatu dengan kerumunan para Siswa-Siswi di tempat kejadian tersebut pun menjadi kalang kabut melihat keadaanku pada saat itu -Tragis. Terdengar riuh sirene ambulan, yang datang bersamaan dengan sebuah mobil kepolisian menuju ke pelataran sekolahku itu.
Suara isak tangis pun sudah terdengar di sekitarku. Tak hanya pihak kepolisian saja yang datang bersamaan dengan para medis, namun beberapa wartawan pun ikut berdatangan, seperti tidak mau ketinggalan mengabadikan momen tersebut. Terlihat seorang dari pihak kepolisian berbintang empat sedang memberikan penjelasan kronologi kejadian itu terjadi, setelah beliau sudah mengetahui penjelasan dari anak buahnya yang telah ditugaskan untuk mengumpulkan beberapa informasi dari para saksi yang melihat kejadian tersebut terjadi.
Sore hari pun berganti dengan malam. Sekitar pukul 20.00 wib, namun sekolahku pun tak kunjung sepi, seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Beberapa guru, dan pihak kepolisian masih terlihat berkumpul di salah satu ruangan di sekolahku. Ya, ruang kantor guru. "Kenapa ini bisa terjadi pada anak saya?!! Tolong beri penjelasan!!!" Ucap marah dari Ayahku kepada Bapak Susilo yang seorang jendral polisi bintang tiga tersebut. Dan tak lama kemudian juga tibalah Ibu dengan salah seorang guru yang bukan berasal dari sekolahku tersebut. "Kenapa ini bisa terjadi?!! Lalu dimana anak saya?!!" Ucap Ibuku tak kalah marahnya, sekaligus cemas seperti Ayahku yang baru juga tiba di sekolahku ini.
***
Ya, mereka baru bisa tiba ke sekolahku ini setelah mereka mendapatkan kabar dari salah seorang Informan di tempat mereka bekerja, yang berkata; Jika dirinya mendapatkan sebuah panggilan telepon dari pihak sekolahku, bila aku mengalami kecelakaan dan harus segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Ya, memang peraturan di tempat kerja orangtua-ku itu, tidak diperbolehkan membawa telpon selama jam kerja masih berlangsung. Jadi, hanya melalui pihak Informanlah mereka bisa mendapatkan kabar jika terjadi sesuatu yang genting seperti pada saat ini.
Bedahalnya dengan seorang guru yang datang bersamaan dengan Ibuku itu. Dirinya datang, dan mengetahui bila anak dari sahabatnya itu mengalami kecelakaan seperti ini, pada saat dirinya hendak pulang menuju rumah selesai dirinya mengajar. Dirinya bertanya kepada salah seorang murid dari sekolahku ini, tentang; Apa yang sedang terjadi, dan mengapa masih seramai ini hingga malam telah tiba? Seorang guru itu adalah Bu Rosida. Ya, aku baru mengetahuinya; Bila ternyata Bu Rosida yang kini mengajar di bahasa Indonesia di SMK-ku adalah sahabat dari Ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melankolis: Sebuah harapan dan airmata. (Completed)
Fiksi RemajaTara, gadis yang terlahir dan hidup didalam keluarga yang broken, permasalahan dalam hidupnya pun selalu datang menyerang secara bertubi-tubi. Tak hanya keadaan rumahnya saja selayaknya hidup dimedan perang karena ulah kedua orangtuanya yang selalu...