SATU

544 30 15
                                    

"Luka itu mengapa terlalu sakit jika di ingat?

Tak bisakah sejenak saja aku lupa?"

****

"Amarta!" Panggil Bagaskara dari kejauhan. Amarta sama sekali tak menghiraukan panggilan Bagaskara.

"Lo itu beneran masih marah sama gua?" Tanya Bagaskara yang kini sudah melangkahkan kakinya senada dengan langkah Amarta.

"Gua itu ngga tahu salah gua ini apa. Tiba-tiba aja lu diemin gua kayak gini. Ta, kita udah temenan dari kecil, dari orok malah. Kalau lo ada masalah cerita, atau kalau gua ada salah lo tinggal bilang. Bukan diem kayak gini. Ta, gua ini bukan cenayang, Ta. Yang bisa tahu isi hati lo itu apa aja."

"Please deh Bagas, ini itu masih pagi. Lo kagak usah drama depan gua." Amarta menghentikan langkahnya lalu memandang Bagaskara dengan wajah kesal.

"Lagian lo sih, gua itu kagak bisa di diemin kayak gini, bilang kalau gua punya salah." Bagaskara semakin memaksa agar Amarta mau mengatakan apa sebenarnya kesalahannya.

"Lo kagak salah Gas, yang salah gua. Jadi mending sekarang lo ajarin gua buat ngelupain lo!" Bagaskara tercengang tak percaya dengan apa yang dia dengar. Langkahnya terhenti, apa sebenarnya kesalahan yang dia lakukan hingga Amarta memutuskan untuk melupakannya.

"Ngga Ta, ngga ada yang bisa misahin persahabatan kita, sekecil apapun celah agar kita jauh, ngga akan pernah gua biarin itu terjadi. Gua kagak pernah tahu salah gua sebenarnya apa, tapi gua akan perbaiki semuanya, dan lo harus tahu. Selain keluarga gua, lo juga yang paling gua sayang." Jantung Amarta kini berdetang tak karuan lagi, ada senyum tipis muncul sesaat sebelum akhirnya Amarta memutuskan pergi meninggalkan Bagaskara sendirian di keramaian kota Jakarta.

"Ta... Tunggu gua woy!!!" Teriak Bagaskara lalu berlari mengejar Amarta. Senyum keduanya masih merekah bahagia, Amarta yang entah mengapa murung kini tersenyum lagi, seakan ia lupa dengan apa yang ia rasakan saat ini.

****

"Yah!!! Tuhkan, lo sih Gas, gara-gara lo, liat tuh pintu gerbang ditutup kan jadinya." Amarta menghembuskan napasnya panjang. Bagaskara yang merasa bersalah hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil cengengesan tak bersalah.

"Terus sekarang gimana?" Tanya Bagaskara.

"Kita manjat." Senyum tipis Amarta timbul begitu saja saat melihat pohon mangga yang dahannya masuk ke dalam halaman sekolah.

"Tapi Ta?" Belum sempat Bagaskara melarang, Amarta sudah berjalan mendahuluinya.

"Ta, lo serius?" Tanya Bagaskara sekali lagi, dan Amarta menatapnya dengan senyuman manis, lalu mengangguk mantap.

"Lo kalau ngga berani naik, lo tunggu disitu aja ya!" Dengan sangat cekatan Amarta naik keatas pohon, sementara Bagaskara melihat sekitar, takut ada yang memperhatikan mereka.

Satu persatu dahan pohon itu menjadi pijakan Amarta, ia tak kesulitan meskipun mengenakan rok sekolah sepanjang lutut itu. Saat Amarta hendak meraih dahan yang terakhir ia teringat Bagaskara.

"Gas, lo Serius ngga...." pertanyaannya terputus saat melihat laki-laki itu sudah tak ada di bawah, entah kemana perginya.

"Hemm okelah, dari dulu dia juga takut ketinggian, paling juga pulang lagi. Dasar Bagaskara." Amarta melanjutkan aksinya, ia lempar tasnya kebawah, sebelum akhirnya ia loncat dari atas.

"Amarta!" Seseorang berlari bergegas mendekat kearahnya.

"Lo ngga apa-apa?" Amarta menggelengkan kepalanya.

"Lo ngapain sih naik keatas, bahaya tahu." Omel laki-laki itu pada Amarta.

"Ya dari pada gua ngga masuk kelas Ka, mending manjatkan." Amarta tersenyum pada Caraka. Laki-laki yang selama ini selalu bersamanya, namun Amarta tak pernah menyadarinya.

"Iya udah ikut gua masuk kelas!" Caraka sudah menarik tangan Amarta tanpa aba-aba, seakan ia sangat bersemangat hari ini, ada senyum yang selama ini tak pernah nampak tiba-tiba merekah begitu saja.

"Woy Ka, pelan-pelan! Kaki gua bisa-bisa lecet nih." Teriak Amarta dengan lantang.

"Kalau lecet gua gendong nanti, yang penting kita cepetan masuk kelas sebelum guru datang." Mereka berdua berlari melewati koridor yang mulai sepi hanya menyisakan satu dua murid yang masih berlalu lalang seakan tak terusik dengan jam pelajaran sudah hampir di mulai.

"Akhirnya sampai, untung guru belum ada yang masuk. Ayok masuk Ta." Caraka menarik tangan Amarta, namun tarikan itu tertahan.

"Lo cari siapa?" Tanya Caraka, heran melihat Amarta yang sejak tadi menatap kebelakang terus, seakan menunggu seseorang.

"Bagaskara." Jawab Amarta.

****

"Ta pulang bareng gua ya? Rumah kita kan searah." Ujar Caraka sambil memasukkan beberapa buku yang masih ada di atas mejanya.

"Gua bisa pulang sendiri Ka." Amarta kini berdiri dan keluar kelas. Caraka yang merasa ditinggal begitu saja bergegas menyusul Amarta.

"Ta, biar gua ada temennya ya, boleh ya!" Ujar Caraka memaksa. Amarta menarik napas panjang-panjang mendengar permintaan Caraka.

"Lo itu ya ka, beda banget sama Bagas, lo itu manja banget. Seharusnya lo bisa sedewasa Bagas, lo udah bukan anak SD Ka, lo anak SMA."

"Ka, berhenti bandingin gua sama Bagas, Bagas itu..." Belum sempat Caraka melanjutkan ucapannya. Hannah datang menghampiri.

"Ta, ikut gua ke perpus bentar yuk!" Ajak Hannah dan Amarta mengiyakannya begitu saja. Tatapan Hannah ke Caraka tajam, seakan tak mengizinkan Caraka dekat dengan sahabatnya itu. Caraka hanya terdiam terpaku, ia naikkan tangannya ke kepala lalu menjambak rambutnya keras. "Ah bego!!!" Teriaknya.

****

"Ta, lo sampai kapan sih kayak gini?" Tanya Hannah sembari mengambil sembarang salah satu buku di rak di depannya. Amarta kini menatap Hannah, dia sedikit bingung dengan pertanyaan sahabatnya ini.

"Kayak gini? Gimana-gimana. Maksudnya apa?" Tanya Amarta penasaran.

"Iya lo sampai kapan harus dibayang-bayang dengan rasa di hati lo, sementara yang lo sayang entah kemana, tak pernah terlihat batang hidungnya." Ragu-ragu Hannah mengatakan itu, kini ia berjalan menyisiri rak buku itu.

"Dia ada kok Han, Cuma ya lo tahu sendirikan gua ngga bisa buat ninggalin dia. Iya gua tahu, kalau gua ini hanya sebatas teman bagi dia, tapi rasa di hati gua nggak bakalan hilang Han."

"Lo ngga mau coba lupain dia Ta?" Sekali lagi, penuh dengan kekhawatiran Hannah mengatakan pertanyaan itu pada Amarta.

"Udah gua coba, tapi sulit banget Han, bahkan saat gua bersifat tak peduli dan angkuh pun dia selalu bisa buat gua luluh lagi. Han, lo sadar ngga sih? Gua ini lama-lama kayak tokoh di buku novel yang sedang di baca para pembacanya. Ngga bisa bahagia, melupakan orang susah."

"Kalau boleh jujur, gua juga pengen lupa sebentar saja, setidaknya sampai luka ini kering." Hannah menatap Amarta penuh rasa kesedihan, dia lantas memeluk sahabatnya itu.

"Gua yakin lo pasti bisa hadapi semua ini Ta."

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang