ENAM

184 21 2
                                    

"Mengapa menyakitkan mencintaimu, dan mengapa enggan berpaling darimu.

Meski ku tahu sakit ini akan sering berujung temu." – Langit

****

Amarta duduk di sebelah Caraka yang masih terbaring di brankar, kepalanya di perban, karena ada kulit kepalanya yang robek dan harus dijahit. Kata dokter tidak ada luka serius yang terjadi pada Caraka, semua tes sudah di lakukan. Setidaknya kabar ini bisa menenangkan Amarta.

"Ta!" Caraka perlahan membuka matanya, dan yang dia lihat pertama kali adalah Amarta.

"Lo ngga apa-apa kan Ta?" Tanya Caraka khawatir, bahkan dia hendak bangun dari tidurnya namun segera di cegah oleh Amarta.

"Gua baik-baik aja. Lo itu yang ngga baik-baik aja. Makanya lain kali kalau gua suruh puter balik ya puter balik. Kalau udah kayak gini siapa yang mau di salahin, siapa yang menerima akibatnya. Lo kan? Ujung-ujungnya gua juga kena."

"Lo cantik kalau lagi marah." Caraka terkekeh melihat Amarta yang tak henti-hentinya berbicara meluapkan uneg-unegnya.

"Ngga usah mulai. Lo tu ya, ya ampun. Gua jitak juga nih."

"Kan gua lagi sakit ta, tega lo mau jitak kepala gua." Muka Caraka kini memelas, entah mengapa saat bersama gadis yang ada di depannya ini, semua rasa sakit, rasa sedi hilang semua. Amarta seakan memiliki magnet penghilang kegundahan itu semua.

"Bodo, ngga peduli gua."

"Kalian berdua bisa ngga sih ngga berantem terus, lama-lama gua nih yang dirawat di rumah sakit. Tahu ngga nanti gua di diagnosa apa?" tanya Hannah pada kedua temannya itu. Amarta mengangkat kedua bahunya pertanda tak tahu. Dan Caraka hanya dia memperhatikan.

"Gua bakalan didiagnosa sakit kepala tingkat akut karena ocehan sahabatnya yang ngga pernah berhenti. Kalau didiemin terus bisa jadi Cancer tingkat akut sih." Hannah tersenyum seakan tak ada yang salah dengan ucapannya.

"Amit-amit Hannah, jaga omongan lo!" Teriak Amarta refleks.

"Omongan gua emang salah ya? Gua kan pengen ngelawak."

"Ngga gitu juga ngelawaknya Han." Bantah Amarta.

"Buktinya Caraka ketawa tuh." Amarta langsung menoleh ke arah Caraka dengan tatapan tajamnya.

"Kalian berdua lucu, makanya gua ketawa hehehe... Sorry-sorry."

"Tuhkan Ta, lo denger kan, gua di bilang lucu loh." Amarta langsung menimpuk Hannah dengan jeruk yang ada di nakas, tepat mengenai wajah Hannah.

"Lo sih ngapain ngomong kayak gitu, makin gila kan dia jadinya." Ujar Amarta kembali memarahi Caraka.

"Udah Han, ayok pulang!" Amarta berdiri dari duduknya. Namun tangannya dipegang oleh Caraka, menahan gadis itu beranjak dari tempatnya. "Jangan tinggalin gua dong."

"Ka, gua harus pulang dulu, gua ngga mau Bunda khawatir, gua yakin pasti bunda udah cemas banget mikirin gua. Nanti gua sama Hannah bakalan balik lagi. Lagian orang tua lo kan ada di sini, gimana sih lo peak." Hannah seketika tersenyum mendengar mendengar ritme suara Amarta seketika berubah.

"Iya dah iya, pulang dah lo berdua." Caraka akhirnya melepas pergelangan tangan Amarta. Mereka berdua pun bergegas pergi, tapi Caraka kembali memanggil Amarta. "Ta!"

"Apalagi sih remahan kacang. Kagak pulang-pulang gua kalau lo manggil gua terus." Caraka hanya tersenyum menanggapi ucapan Amarta.

"Sorry ya Ta, soal kemarin dan kejadian hari ini."

"Okey, gua maafin. Tapi jangan di ulangin lagi. Dah ya gua pulang!" Amarta pun memutas hendle dan langsung keluar di susul oleh Hannah.

"Kemarin emang ada apa Ta?" Tanya Hannah penasaran sambil menutup pintu ruangan tempat Caraka di rawat.

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang