SEBELAS

149 14 12
                                    


"Andai saja tak ada pertengkaran,
mungkin tak akan ada kata melupakanmu. – Amarta –

*******

Amarta turun dari mobil yang dikendari Bagaskara.

"Amarta tunggu!" Bagaskara juga turun dari dalam mobil, mereka berdua tak menghiraukan lagi hujan deras mengguyur tubuh mereka berdua.

"Ta, dengerin penjelasanku dulu!!!" Teriak Bagaskara yang masih mencoba mengejar Amarta. Tak ada sepatah kata pun Amarta luapkan. Ia terus melangkah menyusuri jalan raya dengan di guyur hujan yang semakin lama semakin deras.

"AMARTA PRAHARDI AKU MOHON DENGERIN DULU PENJELASANKU." Teriak Bagaskara semakin kencang, namun suaranya masih terkalahkan dengan derasnya hujan. Amarta menghentikan langkahnya dan menghadap kearah Bagaskara.

"Apa, apalagi yang harus aku dengar? Semua sudah jelas bukan, aku hanya aku dan kamu hanya kamu yang tidak akan pernah menjadi kita. Aku yang bodoh berharap banyak kepadamu. Aku yang bodoh menganggap semua ini adalah suatu hal yang menyenangkan." Suara petir menggelegar membuat suara Amarta hilang sesaat. Mereka berdua saling berhadapan dengan kecamuk pikiran yang sama-sama kacau.

"Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan Amarta." Ujar Bagaskara, ia benar-benar tidak pernah mengerti dengan hubungan yang mereka berdua jalani. Bagaskara bimbang dengan perasaannya sendiri.

"Lalu apa? Kebenaran apa yang sebenarnya disembunyikan. Oh sekarang kamu mahu pura-pura sayang sama aku, pura-pura kalau kamu juga punya rasa sama seperti rasa yang aku rasakan." Amarta menyunggingkan senyumnya.

"Coba kita lihat." Amarta berjalan mendekat kearah Bagaskara, hujan masih deras menguyur malam, petir pun tak henti-hentinya menyambar membuat jalanan gelap terang sesaat. Setiba Amarta di depan Bagaskara, tanpa jarak sama sekali. Amarta meraih pipi Bagaskara yang basah oleh air hujan, ia mengelusnya dengan sangat lembut. Perlahan Amarta memajukan wajahnya mendekat kearah wajah Bagaskara. Napas hangat dan detakkan jantung yang semakin berdegup kencang Amarta rasakan keluar dari tubuh Bagaskara.

Hanya hitungan detik saja Amarta hampir berhasil menjamah bibir Bagaskara dengan bibirnya sendiri. Namun Bagaskara terlebih dahulu memalingkan wajahnya. Amarta tersenyum puas namun penuh luka.

"Lihat sampai kapanpun kamu tidak akan pernah punya rasa yang sama dengan ku. Terima kasih Bagaskara, terima kasih untuk luka ini." Amarta kembali membalikkan tubuhnya dan berlari. Namun beberapa saat setelah itu, sebuah klakson berbunyi dengan sangat kencang.

Tittt...... Titttt......

Belum sempat Amarta memperhatikan dengan jelas, hanya cahaya yang sangat terang tiba-tiba saja kejadian itu terjadi. Tubuhnya melayang, namun ia tak sendiri, tangannya digenggam oleh seseorang, Bagaskara.

BRAAKKKKKK

Hujan, petir dan kenangan pahit itu menjadi satu hal yang tak akan pernah bisa Amarta lupakan.

"BAGASKARA!!!" Teriak Amarta histeris dan tepat saat itu juga seseorang memeluknya dengan sangat erat. Mereka berdua akhirnya berpelukan di bawah derasnya hujan.

"Tenang gua ada di sini." Ujar Langit yang sejak tadi sudah sangat gusar memikirkan Amarta.

"Aku takut." Amarta mengeratkan pelukannya dan membenamkan wajahnya di dada Langit lebih dalam lagi. Entah rasa apa ini, Amarta merasakan kenyamanan dan kehangatan. Baru kali ini ia kembali bisa merasakan rasa tenang dalam hatinya

 Baru kali ini ia kembali bisa merasakan rasa tenang dalam hatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang