Sembilan Belas

85 7 1
                                    



"Terkadang begitu sulit untuk membedakan mana ilusi, halu dan kenyataan,

semuanya sama. Sama-sama menyakitkan."



Setelah memacu laju motornya Langit akhirnya sampai di depan rumah Amarta, ia lantas turun dari motornya dan masuk kepekarangan rumah Amarta. Hari ini tidak seperti biasanya Amarta tidak menunggunya di depan teras. Langit akhirnya mengetuk pintu rumah Amarta, lama tidak ada jawaban hingga Fanny membukakan pintu.

"Loh Langit, Amarta udah berangkat tadi pagi bareng sama Caraka." Fanny tidak menyangka jika Langit akan berdiri didepan rumahnya. Tadi pagi Amarta mengatakan bahwa Langit tidak bisa menjemputnya, tetapi mengapa Langit sekarang berdiri di sini.

"Oh gitu ya Tante, ya udah Langit balik dulu ya, Tan. Biar Langit nanti jemput Amarta." Fanny tersenyum dan mengucapkan permintaan maaf kepada Langit. Langit bergegas memacu laju motornya lagi menuju kesekolah Amarta, ia hanya memastikan jika gadis itu sudah sampai dengan selamat di sekolahnya, terlebih saat ia mendapatkan surat-surat itu di saku jaketnya, rasa cemas dan khawatir semakin menjadi hingga membuatnya harus menjaga Amarta dua kali dua puluh empat jam sehari.

Sesampainya di sekolah Amarta, Langit mengedarkan pandangannya, ia melihat ke pelbagai penjuru, dan ia menemukan Amarta tengah berjalan dengan Caraka. Ada rasa tenang sudah dalam hatinya. Tetapi perlahan ia mulai mengingat sesuatu, ada yang aneh dengan Caraka. Tapi apa itu ia belum tahu pasti. Langit masih memperhatikan langkah mereka berdua yang mulai masuk kedalam sekolah. Caraka adalah tipe anak yang begitu ceria, bahkan Amarta pagi ini juga bisa tertawa dengan Caraka. Dalam hati kecilnya pun mulai memberontak tidak mungkin Caraka aneh, secara mereka sudah bersahabat sejak lama. Langit mengambil ponselnya, lalu mencari nama Amarta.

Langit : {Nanti sepulang sekolah gua jemput. Nggak boleh nolak!} send

Pesan itu sudah terkirim ke ponsel Amarta, masih dua centang abu-abu. Mungkin Amarta belum membuka pesannya secara ia masih berjalan menuju kelasnya. Langit hanya bisa tersenyum melihat Amarta lalu ia pergi ke basecamp.

***

Derrrrt

Sebuah pesan masuk di ponsel Amarta, ia bergegas memperhatikan lacar ponselnya, Langit mengiriminya pesan. Namun tidak segera ia jawab, Hannah sudah terlebih dahulu menariknya kedalam kelas untuk melakukan ritual pagi mereka, iya ritual mereka apalagi kalau bukan bergosip tentang apa saja yang bisa diambil menjadi topik, seperti pagi ini topik pembicaraan mereka berdua adalah rasa nasi kuning yang berada di perempatan dekat sekolah. Sementara Amarta selalu saja menikmati setiap cerita yang di sampaikan Hannah.

"Jadi, Ta. Mas-mas yang jualan itu ganteng banget. Itu si abang Langit kalah gantengnya." Hannah begitu antusias saat bercerita, ekspresinya dan tingkahnya sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Terkadang ia memukul-mukul meja milikinya bahkan ia juga menarik-narik tangan Amarta, seoalah menjadi pelampiasan kegemasannya terhadap mas-mas penjual nasi kuning. Sementara di belakang Hannah, Caraka seolah terganggu dengan keributan yang diciptakan Hannah, ia akhirnya menimpuk Hannah dengan penghapus karet miliknya.

"Caraka apaan sih? Ganggu aja." Hannah melotot kearah Caraka. Ia merasa terganggung karena ceritanya dijeda oleh orang lain.

"Lagian lo ribu banget, tuh liat tuh Ibu Ningrum udah datang." Ujar Caraka sekalian meledek Hannah, sedangkan Hannah yang tidak bisa melawan ia hanya bisa menjulurkan lidahnya seolah-olah juga menghina Caraka.

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang