SEMBILAN

146 19 11
                                    

"Tuhan, mengapa semua ini harus terjadi? Jika boleh memilih,

aku lebih memilih mati dan tak kembali menanggung luka ini lagi." – Amarta –

****

Amarta keluar dari rumahnya dengan seragam putih abu-abu yang ia kenakan. Tak lupa pula jaket hitam kesayangannya ia ikat di pinggang rampingnya itu. "Bunda Amarta berangkat dulu ya!" Teriak Amarta dari pintu rumahnya, sementara Fanny dengan tergesa-gesa berlari mendekat kearah Amarta.

"Sayang jangan lupa bawa ini!" Fanny menyerahkan kotak makan yang isinya roti dengan selai cokelat kesukaan Amarta. Amarta tersenyum bahagia lalu mengambil kotak makan itu.

"Terima kasih Bunda saying, nanti Amarta bagi sama Bagaskara ya Bun." Fanny seketika mengulum senyumnya.

"Hati-hati di jalan ya!" Ujar Fanny tanpa mengiyakan ucapan Amarta barusan.

"Siap Bunda, Amarta berangkat dulu ya." Amarta mencium pipinya lalu pergi dengan sangat bahagia, seakan ada yang sedang menunggunya di sekolah.

Di persimpangan jalan Amarta melihat sosok laki-laki dengan jaket kebangsaannya dengan logo nama geng motor mereka "Atlantis". Laki-laki itu sedang menunggu seseorang, siapa lagi kalau bukan Amarta. Hingga akhirnya laki-laki yang bukan lain adalah Langit itu melihat kedatangan Amarta. Langit tersenyum, menunggu Amarta mendekatinya.

"Hi Ta." Sapa Langit.

"Kok Lo di sini?" Tanya Amarta penasaran.

"Lagi nungguin lo lah." Jawab Langit jujur.

"Gu.. Gua?" Mata Amarta seketika terbelalak mendengar apa yang di katakan Langit, apakah Langit tidak salah bicara. Tapi mana mungkin dia salah bicara dengan sesadar ini.

"Iya gua nunggu lo Amarta." Langit kembali menunjukkan senyumnya manis itu. Jika kalian melihat senyumnya sekali saja, dijamin kalian tak akan pernah lupa, bahkan bisa jadi terbawa hingga kedunia mimpi.

"Tapi, gimana lo bisa tahu rumah gua. Lo nguntitin gua ya?" Seketika Amarta melihat sekelilingnya.

"Di mana lo taruh kameranya?" Tuduh Amarta.

"Kamera apaan?" Langit yang bingung melihat gelagat Amarta mulai mengerutkan keningnya.

"Lo pasti taruh kamera buat nguntitin gua kan? Jujur lo!"

"Lo kebanyakan nonton drama ya gini jadinya. Udah nih buruan pakek!" Langit menyerahkan Helm berwarna hitam. Helm ini seakan memang ia siapkan untuk Amarta, ukurannya pas dan wangi, tak ada tanda-tanda jika helm ini sudah pernah di gunakan sebelumnya.

Amarta mengambil helm itu lalu memakainya. Namun sebelum ia naik di motor milih Langit, sekali lagi Amarta bertanya. "Lo beneran ngga taruh kamera di tempat atau dirumah gua kan?" Langit tersenyum mendengar itu.

"Kagak, ya kali gua buat suatu hal yang sekriminal itu. Buruan naik!" Ragu-ragu Amarta naik ke motor Langit. Langit sekali lagi tersenyum, hatinya merasa sangat senang, entah apa yang membuatnya sebahagia ini melihat Amarta. Sebelumnya Langit tak pernah seperti ini, seakan ada yang berbeda tapi ia tak bisa menyebutkan letak perbedaannya di mana.

Langit melajukan motornya di tengah jalan, jalanan pagi ini lumayan padat, namun Langit sangat lincah menyalip semua kendaraan yang ada di depannya. Namun Amarta tiba-tiba kembali bertanya pada Langit.

"Kalau lo ngga nguntitin gua, kenapa lo bisa tahu kalau gua tinggal di daerah sana." Langit menggelengkan kepalanya serasa tersenyum. Perempuan yang sedang ada dibelakangnya ini benar-benar bawel, keras kepala untung aja cantik.

"Tante, Langit boleh minta tolong ke ngga?" Ujar Langit kepada Fanny yang tengah berjalan hendak ke bangsal Amarta.

"Iya Langit, apa yang bisa tante bantu?"

NestapaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang